Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI
Sumber: Arsip Dokumentasi MediaLink
Jakarta, 16 Oktober 2024 – Di tengah perkembangan media yang semakin cepat dan kompleks, upaya memperkuat jurnalisme yang adil dan inklusif semakin menjadi agenda prioritas. Untuk menjawab tantangan tersebut, MediaLink yang tergabung di dalam Konsorsium Program INKLUSI menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) pada tanggal 26 September 2024 dan 16 Oktober 2024 yang menjadi tonggak dalam proses perumusan Anugerah Jurnalisme Inklusif 2025.
Tidak hanya Konsorsium Program INKLUSI yang turut hadir, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga media yang memiliki perhatian terhadap isu-isu keberagaman, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta perlindungan kelompok rentan juga terlibat dalam proses ini. Pertemuan pertama digelar di Hotel Akmani, Jakarta Pusat, sedangkan pertemuan kedua berlangsung di Hotel Aston, Jakarta Selatan. Masing-masing FGD menghadirkan perwakilan dari berbagai lembaga seperti AJI Indonesia, Sejuk, HRWG, INFID, Internews, AMSI, UNIKA Soegijapranata, dan organisasi lainnya.
MediaLink membuat kegiatan Anugerah Jurnalisme Inklusif sebagai bentuk penghargaan atas kerja-kerja jurnalistik yang tak henti memperjuangkan fakta. Kegiatan ini dirancang sebagai pengakuan terhadap karya-karya jurnalistik yang mengangkat nilai-nilai keberagaman dan inklusi. Penghargaan ini diharapkan menjadi dorongan moral dan profesional bagi para jurnalis untuk terus menjaga standar etika, kritis terhadap isu-isu publik, dan tetap independen. Lebih dari itu, Anugerah Jurnalistik Inklusif dimaksudkan untuk membentuk ekosistem jurnalisme yang sehat dan mampu tumbuh menjawab tantangan perkembangan zaman.
Pertemuan pertama pada 26 September difokuskan pada perumusan makna dan cakupan jurnalisme inklusif, serta eksplorasi bentuk karya jurnalistik yang layak diapresiasi. Dari proses diskusi yang muncul, peserta menyepakati bahwa jurnalisme inklusif dimaknai sebagai praktik jurnalistik yang memberikan ruang representasi setara bagi kelompok yang sering kali terpinggirkan dalam pemberitaan arus utama, seperti kelompok disabilitas, masyarakat adat, komunitas minoritas agama, serta kelompok gender dan seksual non-normatif.
Diskusi juga menyoroti bahwa media alternatif yang belum terverifikasi Dewan Pers namun aktif menyuarakan keberagaman tetap layak mendapat ruang dalam ajang penghargaan nantinya. Nani dari AJI Indonesia juga mengingatkan bahwa inklusi tidak boleh dibatasi oleh aspek administratif semata. “Media alternatif yang belum terverifikasi tapi punya tata kelola baik dan konsisten pada isu keberagaman harus tetap diberi ruang,” ujarnya. Forum ini sekaligus juga memetakan bentuk karya yang akan dilombakan, seperti tulisan features, video dokumenter, podcast, hingga siaran radio.
Sumber: Arsip Dokumentasi MediaLink
Proses berlanjut ke FGD kedua pada 16 Oktober yang secara khusus membahas kriteria penilaian karya, alur waktu perlombaan, serta mekanisme penjurian. Pertemuan ini menjadi momen krusial untuk menyepakati fondasi teknis pelaksanaan Anugerah Jurnalisme Inklusif.
Dalam diskusi ini, para peserta menyepakati bahwa karya akan dinilai dari sisi kedalaman dan kelengkapan informasi, kesesuaian tema, penggunaan diksi yang inklusif, kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik, serta aspek teknis seperti kualitas visual atau audio. Ada juga pertimbangan tambahan terkait pelibatan kelompok rentan dalam proses peliputan sebagai bagian dari nilai inklusivitas. Dan telah disepakati pula bahwa susunan juri perlu mencerminkan keberagaman perspektif, termasuk keterwakilan gender yang setara, serta pemahaman yang mendalam terhadap isu-isu inklusi dan keberagaman.
Panitia yang terdiri dari MediaLink, AJI, HRWG, AMSI, dan Internews akan melanjutkan proses ini dengan menyusun buku panduan teknis, membuka pendaftaran secara daring, dan mempromosikan kegiatan ke berbagai kanal media sosial agar dapat menjangkau peserta dari berbagai latar belakang. Peserta juga menyarankan agar promosi perlombaan dilakukan secara masif melalui media sosial, poster, dan video pendek agar menjangkau jurnalis-jurnalis muda dan media berbasis komunitas di daerah.
Sebagai hasil dari dua kali pertemuan FGD ini, terbentuklah rancangan utuh Penghargaan Anugerah Jurnalisme Inklusif. Penghargaan ini dirancang terbuka untuk publik, dengan pengumpulan karya dimulai pada akhir Oktober 2024 hingga pertengahan Januari 2025. Semua peserta akan memperoleh sertifikat, sementara media atau institusi tempat jurnalis bernaung akan diberikan plakat sebagai bentuk penghargaan kolektif.
Dari keseluruhan proses persiapan yang dilakukan, tampak jelas bukan hanya soal teknis perlombaan, tetapi semangat kolektif untuk menciptakan ruang aman dan adil bagi praktik jurnalisme yang berpihak pada keberagaman dan kemanusiaan. Penghargaan ini menjadi ajakan untuk terus meneguhkan komitmen pada praktik jurnalisme yang inklusif, kritis, dan berani. Dengan semangat kolaboratif ini, diharapkan jurnalisme di Indonesia semakin mampu merefleksikan wajah masyarakat yang majemuk dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta kemanusiaan.