Aktualisasi Perempuan Ahmadi dalam Menghadapi Diskriminasi

Loading

Oleh: Eva Syarifatul Jamilah

Pada akhir Maret 2024, saya menghadiri pelatihan tatap muka dengan tema “Modul Jurnalistik Inklusif untuk Kesetaraan dan Kebangsaan” di Kota Bandung. Perjalanan dari Ciamis ke Bandung saya tempuh seorang diri dengan menggunakan travel.

Sesampai di lobi hotel tempat pelatihan ini berlangsung, sempat saya bertemu dengan seorang perempuan yang nampak sebagai peserta pelatihan ini. “Teteh juga ikut pelatihan, ya?” tanya saya untuk memastikan. Pertanyaan saya tersebut disambut dengan anggukan yakin dari perempuan itu. Kami kemudian memutuskan untuk bersama-sama menuju ke lantai UM, dimana pelatihan akan berlangsung.

Di ruang UM, kami berkenalan dengan peserta lainnya yang sudah lebih dahulu tiba. Interaksi kami berkembang dengan cepat, dan dalam obrolan santai, saya mengetahui bahwa perempuan ini tidak hanya hadir untuk dirinya sendiri. Dia kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Salima dari Lajnah Imaillah Kota Bandung. Dengan senyum yang tak pernah pudar, Salima juga bercerita bahwa ia lahir dan dibesarkan di Bandung, anak kedua dari empat bersaudara, dan saat ini masih berkuliah di Universitas Padjajaran.

Diskusi kami semakin mendalam ketika saya menanyakan tentang Ahmadiyah dan Lajnah Imaillah. “Saya punya kenalan dosen yang juga bagian dari Lajnah Imaillah,” saya katakan, teringat salah satu dosen nyentrik yang selalu saya ingat. Mendengar hal itu Salima merespon hal itu dengan penuh antusias.

Percakapan kami ini semakin mengarah pada diskusi yang cukup mendalam. Saya semakin memahami bahwa di balik senyumnya, Salima menyimpan berbagai cerita tentang tantangan yang dihadapinya sebagai seorang perempuan Ahmadi. Pengalaman dan perjuangannya mencerminkan kondisi yang dialami oleh banyak anggota komunitas Ahmadiyah di Indonesia, yang sering kali harus menghadapi diskriminasi dan prasangka sosial.

Perjuangan Melawan Diskriminasi

Dalam ceritanya, Salima mengungkapkan bahwa Perempuan Ahmadi sering kali dilabeli berbeda bahkan dianggap sesat dibandingkan aliran Islam pada umumnya. Label ini tidak hanya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap komunitas mereka, tetapi juga berdampak pada pengalaman sehari-hari kehidupannya sendiri. Alhasil, perasaan takut dan tidak aman sering kali menghinggapi saat ia harus menunjukkan identitasnya.

Lebih jauh lagi, Salima berbagi pengalaman pribadi tentang bagaimana stereotip dan prasangka terhadap Perempuan Ahmadi sering kali muncul dalam interaksi sosial. Banyak dari mereka yang harus menghadapi pandangan sinis atau bahkan penolakan ketika mereka mencoba untuk berintegrasi dengan masyarakat umum. Diskriminasi ini bisa datang dalam berbagai bentuk, mulai dari komentar negatif yang tidak diinginkan hingga tindakan pengucilan yang lebih terstruktur.

Sementara itu, Salima juga menyadari bahwa tantangan ini tidak hanya bersifat sosial tetapi juga mencakup bidang akademik dan administratif. Walaupun ia tidak mengalami kesulitan langsung di lingkungan akademisnya, banyak anggota Perempuan Ahmadi yang terpaksa menghadapi rintangan dalam memperoleh hak yang sama, baik dalam dunia pendidikan maupun dalam administrasi publik. Diskriminasi ini dapat mempengaruhi peluang mereka untuk berkembang dan berkontribusi secara optimal dalam masyarakat.

Namun, di tengah berbagai tantangan ini, Salima dan komunitas Ahmadi lainnya memilih untuk tidak terpuruk oleh stigma dan prasangka. Mereka berusaha untuk menanggapi diskriminasi dengan keteguhan dan tekad, menjadikan setiap tantangan sebagai dorongan untuk memperkuat kontribusi mereka kepada masyarakat. Dengan memfokuskan diri pada pengembangan diri dan memberikan kontribusi positif, mereka berusaha menunjukkan bahwa mereka adalah bagian integral dari masyarakat, bukan entitas terpisah yang patut dikucilkan.

Aktualisasi diri Salima mengikuti motto yang diusung oleh Khalifah ke-3 Jemaat Ahmadi, Hazrat Khalifatul Masih III: “Love for all, hatred for none.” Motto ini mencerminkan komitmen Salima dan komunitasnya untuk menyebarluaskan ajaran cinta kepada seluruh makhluk di bumi. Mereka tidak hanya terlibat dalam aktivitas sosial yang membangun, seperti pendirian sekolah dan rumah sakit, tetapi juga secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan kemanusiaan seperti donor darah dan mata. Usaha-usaha ini tidak hanya mencerminkan nilai-nilai mereka tetapi juga memberikan dampak nyata yang positif, yang diakui oleh masyarakat luas dan bahkan tercatat dalam rekor MURI. Dengan semangat ini, Salima menunjukkan bahwa penerimaan diri dan keberhasilan dalam masyarakat bukanlah hal yang mustahil. Meskipun menghadapi tantangan dan ketidakadilan, Salima dan komunitasnya terus berjuang untuk membuktikan bahwa kasih sayang dan pelayanan kepada sesama dapat mengatasi kebencian dan prasangka. Upaya mereka menyoroti pentingnya integrasi, toleransi, dan cinta tanpa syarat dalam membangun masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif.

“Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI”

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content