Aktivis Muda Lintas Agama Belajar tentang Non-violent Communication yang di Inisiasi oleh MAARIF Institute di Jakarta

Loading

Penulis: Gresy Kristriana

Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI

Gambar 1: Peserta Lokakarya Non-violent Communication: Penguatan Inklusi Sosial-Keagamaan untuk Aktivis Muda Lintas Agama di Jakarta pada 12 Agustus 2024
Sumber: Arsip Dokumentasi MAARIF Institute

Jakarta, 12 Agustus 2024 – Apakah Anda pernah mendengar istilah komunikasi damai? Istilah ini merujuk pada pendekatan yang dikenal dengan Non-violent Communication (NVC), sebuah metode komunikasi yang dikembangkan oleh psikolog Marshall Rosenberg pada era 1960–1970. NVC berangkat dari pemahaman bahwa semua manusia memiliki kebutuhan dasar yang sama dan sejatinya penuh kasih. 

Konflik dalam kehidupan sehari-hari sering kali bukan terjadi karena perbedaan kebutuhan, melainkan karena perbedaan cara atau strategi dalam memenuhinya. Melalui pendekatan ini, NVC mendorong tumbuhnya empati dan pemahaman dalam proses komunikasi, sehingga potensi kesalahpahaman dapat ditekan dan hubungan sosial menjadi lebih harmonis. NVC juga menegaskan bahwa kekerasan, baik secara verbal maupun fisik bukanlah sifat alami manusia, melainkan sesuatu yang dipelajari dan diperkuat oleh budaya yang berlaku.

MAARIF Institut setelah berhasil menyusun dan mengembangan modul mengembangkan modul Non-Violent Communication (NVC): Penguatan Inklusi Sosial-Keagamaan untuk Aktivis Muda Lintas Agama pada 4 Juli 2024 lalu, kini menggelar lokakarya Non-Violent Communication (NVC) di Hotel Aston Simatupang, Jakarta Selatan. 

Kegiatan ini diikuti oleh penggerak muda lintas agama dari berbagai daerah seperti Manado, Kupang, Bali, serta perwakilan dari lembaga keagamaan dan masyarakat sipil. Pertemuan  ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas komunikasi damai bagi aktivis muda lintas agama dalam menghadapi dinamika keberagaman sosial-keagamaan di Indonesia.

Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Andar Nubowo, membuka kegiatan dengan membawa pesan kunci untuk menjaga keragaman Indonesia dari ancaman ekstremisme dan kekerasan verbal yang kian marak, terutama di ruang digital. 

“Peradaban lahir dari dialog. Jika Indonesia ingin maju, maka kita harus membuka diri terhadap peradaban lain,” ujarnya. Lokakarya ini disebut sebagai wadah strategis untuk merawat keberagaman melalui komunikasi yang lebih empatik dan inklusif.

Sesi dilanjutkan oleh Moh. Shofan yang mengenalkan konsep dasar Non-Violent Communication (NVC), sebuah pendekatan yang dikembangkan Marshall Rosenberg. Ia menjelaskan bahwa NVC berfokus pada kejujuran, empati, dan pemahaman yang mendalam, serta sangat relevan dalam konteks keberagaman dan relasi antar iman di Indonesia. Shofan juga menggarisbawahi perlunya adaptasi pendekatan NVC sesuai dengan karakteristik lokal, agar pendekatan ini tetap relevan di berbagai daerah di Indonesia.

NVC dalam Bahasa: Bahasa Serigala VS Bahasa Jerapah

Rifah Zainani dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman menjelaskan prinsip dasar NVC, termasuk pentingnya mengganti “bahasa serigala” yang penuh penghakiman dengan “bahasa jerapah” yang penuh empati dan kasih. 

Bahasa Serigala untuk menggambarkan pola komunikasi yang memutus keterhubungan antar individu. Bahasa ini muncul dari pola asuh dan budaya yang mendorong manusia bereaksi dengan menyalahkan, menghakimi, menakut-nakuti, atau memerintah. Akibatnya, pikiran cenderung diarahkan pada kemarahan, rasa malu, atau depresi, yang kemudian bisa berkembang menjadi perlawanan pasif seperti ketundukan dan kebencian, maupun perlawanan aktif seperti pemberontakan. Beberapa penyebab utama dari komunikasi yang tidak terhubung antara lain adalah kebiasaan menghakimi, menyalahkan orang lain, memaksa, serta menggunakan bahasa yang bernada hukuman atau ancaman.

Sebaliknya, Bahasa Jerapah menjadi simbol komunikasi yang penuh empati dan kasih dalam NVC. Bahasa ini fokus pada menciptakan pertalian hati yang tulus, dengan memahami perasaan dan kebutuhan orang lain tanpa penghakiman. Jerapah dipilih sebagai simbol karena memiliki jantung terbesar di antara mamalia darat (melambangkan kapasitas empati yang besar) dan leher yang panjang, yang menjadi metafora dari kemampuan melihat situasi dari sudut pandang yang lebih luas. Jerapah juga mampu menjulurkan lehernya sebagai lambang keberanian untuk terbuka dan mengambil risiko secara emosional dalam menjalin hubungan.

NVC sebagai Kritik dan Solusi dalam Lanskap Toleransi Indonesia

Prof. Muqowim dari UIN Sunan Kalijaga menambahkan bahwa kekerasan, baik verbal maupun fisik, adalah hasil dari konstruksi sosial dan budaya yang bisa diubah melalui pendidikan dan perjumpaan. 

“Konflik muncul bukan karena perbedaan, tapi karena the clash of ignorances. Kuncinya adalah memperbanyak perjumpaan,” katanya. 

Ia juga memperkenalkan pendekatan “pohon nilai” sebagai metode reflektif dalam menggali dan menumbuhkan nilai empati dan welas asih dalam diri peserta.

Diskusi berlangsung aktif dengan beragam refleksi dari peserta. Syafira dari INFID menyoroti penggunaan diksi yang tepat dalam kampanye toleransi, terutama agar tidak mengalienasi kelompok yang belum moderat. “Konsep moderasi beragama kadang malah membuat masyarakat saling berhadapan. NVC menjadi otokritik untuk kelompok moderat,” jelasnya. Ia juga menggarisbawahi bahwa kelompok GEDSI (Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial) rentan terhadap kekerasan verbal, sehingga pendekatan NVC sangat relevan.

Gambar 2: Suasana Diskusi Lokakarya Non-violent Communication: Penguatan Inklusi Sosial-Keagamaan untuk Aktivis Muda Lintas Agama di Jakarta pada 12 Agustus 2024
Sumber: Arsip Dokumentasi MAARIF Institute

Sementara Eka Sabara dari Bali mengenalkan konsep lokal “kamu adalah aku, aku adalah kamu” sebagai nilai dasar hidup berdampingan di Bali, meski tantangan muncul dari pendatang baru yang belum memahami nilai tersebut. “Kita perlu menjembatani pemahaman ini dengan dialog yang berkelanjutan,” ujarnya.

Yahya dari IBTimes mengangkat tantangan di dunia digital, di mana media Islam yang menyuarakan narasi damai justru mendapatkan resistensi. Ia menyarankan pendekatan narasi melalui konten ringan seperti video pendek agar pesan damai lebih mudah diterima.

Sebagai penutup kegiatan, Moh. Shofan menyampaikan bahwa hasil workshop ini akan menjadi landasan penyusunan pelatihan lanjutan di tiga kota yaitu Manado, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content