Oleh Komunitas Tuli FeminisThemis 20 Agustus 2024

Agama merupakan panduan menuju kebaikan bersama (Ngiat Hiung, 2021). Indonesia sebagai negara yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki praktik kehidupan beragama sangat kental dan dianggap sakral dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, bagaimana komunitas Tuli dalam hidup beragama di tengah masyarakat?
Tantangan dalam aktivitas keagamaan seringkali dirasakan oleh komunitas Tuli, sehingga menyebabkan partisipasi Tuli sangat sedikit, atau bahkan tak terlihat sama sekali. Adanya “tembok komunikasi” antara komunitas Tuli berbahasa Isyarat dan orang dengar sehingga partisipasi komunitas Tuli menciptakan kesenjangan yang membatasi akses mereka terhadap nilai-nilai keagamaan, sehingga partisipasi aktif dalam kelompok agama pilihan mereka menjadi sulit (Finley, 2022). Selain itu, banyak Tuli yang beribadah sesuai agama atau kepercayaan yang diturunkan dari wali, keluarga, atau orang tua sebagai kewajiban semata. Sedangkan untuk mempelajari agama atau kepercayaan lebih dalam, komunitas Tuli masih kesulitan untuk akses komunikasi yang ramah Tuli.
Sebagaimana individu Dengar, komunitas Tuli juga membutuhkan suatu pegangan sebagai harapan dalam menjalani hidup serta memenuhi kebutuhan rohani. Namun di sisi lain, teman-teman Tuli menghadapi masalah tidak adanya akses bahasa isyarat untuk mendalami dan berpartisipasi dalam aktivitas keagamaan atau kepercayaannya. Hal ini menyebabkan kesulitan bagi mereka untuk memahami pesan-pesan keagamaan, mendalami ajaran agama, dan memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang nilai-nilai spiritual.
Tidak sedikit teman-teman Tuli yang “rindu” untuk mendalami agama atau kepercayaan mereka masing-masing dengan akses bahasa isyarat. Berbagai perjuangan telah dilalui untuk belajar mengenal Tuhan. Cerita pribadi dari beberapa anggota komunitas Tuli menggambarkan kesulitan yang mereka alami.
Clara, seorang Katolik, mengalami kesulitan untuk berkembang secara spiritual karena kurangnya akses bahasa isyarat dalam kegiatan keagamaan. Sejak usia anak-anak hingga remaja, Clara tidak memiliki banyak teman sesama Katolik. Setiap sekolah minggu atau acara gereja, ia selalu merasa bingung dan minder. Clara merasa pertumbuhan imannya jauh tertinggal dibandingkan teman sebayanya karena kendala akses komunikasi dan berbagai stigma sosial terhadap Clara sebagai anak Tuli. Suatu ketika orang-orang sekitarnya mulai mengenal dunia Tuli dan Bahasa Isyarat, Clara menganggapnya sebagai mukjizat dari Tuhan dalam hidupnya. Clara mendalami pertumbuhan iman dan belajar tentang kasih-Nya hingga sekarang melalui akses JBI. Namun bagi Clara, tidak cukup hanya dengan penyediaan JBI. Beberapa kali terjadi salah tafsir Bahasa Isyarat oleh teman Tuli, misalnya isyarat “Anak Domba Allah” yang diartikan secara harfiah sebagai nama hewan betulan. Padahal artinya jauh lebih dalam secara teologis. Oleh karena itu, Clara menekankan pentingnya kosa isyarat Katolik yang tepat dan pelatihan Bahasa Isyarat bagi para romo dan suster agar dapat berkomunikasi secara maksimal dengan Tuli.
“Menurut saya sebagai umat Katolik, Bahasa Isyarat itu sangat penting sebagai jalan untuk mendekat kepada Tuhan dan belajar ajaran-Nya.” -Clara Vania P
Tidak hanya Clara, beberapa Tuli lainnya membagikan pengalamannya dalam hidup berohani, seperti Rira dan Kintan.
Rira, seorang Tuli lain membagikan pengalamannya selama beribadah dalam vihara. Rira seringkali dinasihati untuk rajin beribadah kendati tidak ada akses yang ramah Tuli. “Kalau tidak ibadah, nanti dapat dosa besar sekali!” Doktrin ini menjadi makanan sehari-hari Rira. Rira heran, bagaimana caranya dia bisa beribadah khusyuk sedangkan aksesnya kurang inklusif. Kini dia sudah jarang beribadah di vihara dan lebih sering beribadah sendirian di rumah. Justru Rira lebih paham dengan ajaran Katolik di bangku sekolah bersama teman-teman Tuli lain sejak kecil. Bersekolah di sekolah umum di mana ada kelas pengajaran Buddha yang dia ikuti, Rira selalu meminta penjelasan kepada ibunya tentang ajaran dan teologi Buddha yang dianut oleh keluarganya.
Bagi Rira, adanya akses JBI dalam hidup beribadah itu penting sekali untuk memenuhi kebutuhan rohani dan teman-teman Tuli bisa mengikuti selama beribadah di vihara. Rira berkali-kali mengadvokasikan kebutuhan akses JBI dan Bahasa Isyarat kepada para petugas vihara. Namun sering ditolak dengan alasan merepotkan.
“Saya merasa marah dan kesal ketika dibilang bahwa akses JBI itu merepotkan oleh para petugas vihara. Mereka perlu meriset tentang ragam disabilitas yang beragama Buddha dan menyediakan tempat aksesibel dan bersahabat bagi semua umat tanpa terkecuali agar dapat beribadah.”- Rira
Kintan, seorang Tuli lain membagikan pengalamannya selama beribadah. Selama khotbah dalam ibadah, Kintan selalu merasa frustasi hanya duduk berjam-jam tanpa memahami apa yang disampaikan tanpa akses JBI. Kintan berpikir justru lebih baik segera pulang dan menggunakan waktunya untuk hal lain. Hal seperti ini terjadi selama bertahun-tahun. Hingga Kintan skeptis dan jauh dari hidup berkomunitas dalam keagamaan.
Pada tahun 2020-an mulai ada akses Bahasa Isyarat dalam kegiatan keagamaan, sehingga Kintan mulai memahami ajaran agama keluarganya dan belajar hidup berkomunitas dalam keagamaan. Selain itu juga berkembang akses Bahasa Isyarat untuk agama atau kepercayaan lain, sehingga Kintan dapat memahami bahwa agama atau kepercayaan yang ada tujuannya sebagai panduan untuk kebaikan bagi sesama manusia dan pengharapan dalam hidup. Sungguh betapa pentingnya akses Bahasa Isyarat bagi komunitas Tuli dalam hidup beragama agar terciptanya kerukunan beragama dan penghayatan hidup mereka.
“Akses Bahasa Isyarat sangat penting dalam kegiatan ibadah keagamaan/kepercayaan untuk memenuhi kebutuhan rohani komunitas Tuli, memberi lebih banyak pilihan dalam beragama atau berkeyakinan, dan kerukunan dalam berkomunitas.” – Josephine Kintan
Berbagai pengalaman Tuli tersebut menunjukkan pentingnya akses Bahasa Isyarat dalam kehidupan beragama yang sangat kental di Indonesia. Kehidupan beragama yang kental dalam masyarakat di Indonesia tak terlepas dari pengaruh dalam dasar negara yaitu UUD 1945 dengan beberapa pasal seperti:
pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) yang mengakui bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan dan hak untuk memilih, memeluk, dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Pasal 29 ayat (1), dan ayat (2) menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara berdasarkan berketuhanan yang maha esa.
Pernyataan tersebut menempatkan posisi Indonesia sebagai negara yang bertuhan dan secara konstitusional bukan negara tidak bertuhan atau atheis serta menjamin kebebasan dan hak beragama dalam masyarakat (Sodikin, 2013; Handayani, 2009). Selain itu, hak beragama merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam pasal 4 dan pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) UU №39 Tahun 1999 tentang HAM. Setiap orang memiliki hak untuk memilih maupun menjalankan agama dan kepercayaannya serta dijamin oleh negara, sedangkan pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak beragama setiap warga negaranya selama tidak bertentangan terhadap peraturan perundangan yang berlaku.
Selain itu, di Indonesia beberapa kali terjadi perilaku intoleran terhadap kelompok agama dan kepercayaan tertentu dan teman Tuli yang menerima perlakuan intoleran tersebut bahkan tidak menyadari hal itu. Teman-teman Tuli yang belum memahami ajaran cinta kasih dari agama atau kepercayaannya akibat tidak adanya akses Bahasa Isyarat akan mudah terseret dengan doktrin-doktrin yang mengancam kerukunan beragama. Tentunya hal ini akan membuat kerentanan komunitas Tuli semakin berlapis.
Akses Bahasa Isyarat dalam hidup beragama berdampak besar terhadap kehidupan komunitas Tuli. Mereka akan memahami panduan-panduan dalam ajaran agama dan kepercayaannya menuju cinta kasih, saling menghormati, memahami arah tujuan hidupnya, dan memiliki motivasi tinggi dalam menjalani hidup. Harapan ini dapat diwujudkan dengan aksesibilitas rumah ibadah ramah Tuli dengan ketersediaan Juru Bahasa Isyarat dan materi keagamaan yang didesain agar dapat dipahami oleh komunitas Tuli.
Akses bahasa isyarat merupakan hak asasi manusia bagi komunitas Tuli dan kunci bagi lingkungan ibadah yang inklusif dan bermakna.
“Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membantu komunitas Tuli menjalani kehidupan spiritual melalui penyediaan akses yang inklusif.”
Komunitas Tuli FeminisThemis merupakan sebuah komunitas yang berfokus di isu kesehatan seksual dan reproduksi, kesetaraan gender, serta aksesibilitas media Tuli.