Deafpreneur: Born Out of Exclusion, Becoming a New Way to Strengthen Economic Power

Loading

Oleh Komunitas Tuli FeminisThemis 23 Agustus 2024

Gambar : Pelanggan sedang melakukan transaksi dengan kasir (Sumber: Pinterest)

Kewirausahaan dikenal luas sebagai pendorong pembangunan ekonomi. Partisipasi kelompok rentan di sektor ini, seperti komunitas penyandang disabilitas, dapat berdampak besar pada persepsi masyarakat dan hasil perekonomian dalam laju pembangunan negara yang lebih inklusif. Di Indonesia, kemunculan wirausahawan Tuli atau yang sekarang disebut sebagai Deafpreneur, mulai berpotensi besar menantang wacana tradisional seputar kemampuan komunitas ini, yang semakin memperkuat posisi ekonomi mereka di tengah tantangan perekonomian negara.

Ketika berbicara tentang kewirausahaan yang inklusif, konsep seperti apakah yang muncul di benak banyak orang? Apakah nilai inklusivitas ini datang dari upaya mempekerjakan para pekerja disabilitas? Atau dari desain bangunan tempat kerja yang serba akses?

Mungkin juga dengan mendonasikan sebagian hasil keuntungan penjualan kepada yayasan yang bergerak dalam isu disabilitas. Wacana seperti itu lah yang paling umum terlintas oleh orang-orang non-disabilitas ketika membahas dunia wirausaha yang mereka harapkan menjadi semakin inklusif. Menariknya, kelompok penyandang disabilitas, dan dalam konteks ini adalah komunitas Tuli, memiliki perspektif yang berbeda akan hal tersebut, meskipun sebetulnya gagasan komunitas Tuli ini bukan suatu hal yang radikal atau terlampau idealis, namun kenyataannya berbanding terbalik dengan konsep inklusif yang dipahami serta diyakini oleh masyarakat. Bagi sebagian komunitas Tuli–yang secara terbuka mengkritisi praktik-praktik ableisme dan audisme di dunia kerja–inklusivitas dalam kewirausahaan seharusnya sudah tidak lagi berkutat pada penyandang disabilitas sebagai objek bisnis yang pasif, namun sebagai pelaku usaha mandiri. Bahkan saat ini, mulai muncul segelintir perempuan Tuli yang memilih dan beralih untuk menjadi pengusaha, akan tetapi tentu keinginan ini memiliki risiko dan hambatan tersendiri begitu dihadapkan dengan masyarakat luas.

Berdasarkan data terakhir Survei Ekonomi Nasional (Susenas), di tahun 2020 tercatat ada sekitar 28,05 juta penyandang disabilitas, yang berarti setara dengan 10,38 persen populasi nasional. Kemudian, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja dengan disabilitas di Indonesia mencapai 720.748 orang di tahun 2022, yang mana angka tersebut masih didominasi oleh pekerja laki-laki yakni berjumlah 445.114 orang. Selanjutnya dalam laporan BPS, jika dilihat pada status pekerjaan, mayoritas pekerja dengan disabilitas di Indonesia yang ‘berusaha sendiri’ berjumlah sekitar 2,06 juta orang, diikuti dengan profesi ‘buruh tidak tetap’ di angka 1,8 juta dan ‘buruh/karyawan/pegawai’ dengan 1,27 juta, dan total keseluruhan pekerja disabilitas yang tercatat mencapai 7,04 juta pekerja. Sekilas apabila dilihat dari data tersebut, hanya 25% penyandang disabilitas yang memiliki akses pekerjaan, dan hampir 10% berusaha sendiri atau menjalankan wirausaha. Ada dua hal yang menarik untuk ditelisik di sini, yakni mengapa mayoritas dari penyandang disabilitas memilih untuk berwirausaha, dan persoalan apa saja yang dihadapi langsung oleh para pengusaha disabilitas di Indonesia. Walaupun tidak ada data spesifik terkait dengan jumlah dan jenis pekerjaan Tuli di Indonesia, namun pembahasan akan lebih fokus pada kewirausahaan yang dilakukan oleh Tuli, sebab gerakan komunitas ini sedang berkembang pesat dan menjadi sorotan media–baik mainstream maupun online–karena kampanye kesadaran mereka yang cukup masif.

Perlindungan hukum terhadap Tuli di Indonesia telah diakui oleh negara, seperti pada UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, akan tetapi pada prakteknya masih banyak Tuli yang mengalami diskriminasi serta mendapatkan stigma ketika berintegrasi di dalam masyarakat luas. Salah satu contohnya adalah pengalaman berwirausaha kedua kakak-beradik, Alifah dan Irbah, serta seorang ilustrator Tuli bernama Chatrin. Ketiganya adalah pengusaha mandiri dengan bidang yang berbeda-beda, yakni kuliner, fashion, dan seni kriya.

Irbah yang saat ini telah berusia 28 tahun, menceritakan pengalamannya merintis usaha kue-kue dan pastry rumahan sejak ia masih kelas 2 SMK. Ketertarikan Irbah dalam dunia pastry sudah terbentuk di kala dirinya bersekolah di jurusan tata boga, ia banyak melakukan praktik seperti membuat kue bolu untuk ulang tahun, hingga belajar mempromosikan kecil-kecilan kue buatannya sendiri di media sosial. Namun, keahlian Irbah baru mulai diuji saat mendapatkan pesanan sejumlah 500 toples kue lebaran dalam waktu dua minggu oleh sebuah perusahaan. Irbah mengaku kewalahan dan tidak sanggup jika harus melakukannya sendiri, mengingat dirinya hanya mampu memproduksi 8 toples dalam sehari.

“Tenagaku saja kurang untuk jual setiap hari, sebab aku gak ada tim marketing dan penjualan.” Ujar Irbah ketika membahas kendala yang dihadapi.”

Akhirnya, Irbah memutuskan untuk merekrut tiga orang lainnya, yang juga Tuli, untuk membantunya mengejar pesanan 500 toples tersebut. Ketiga orang tersebut ia temukan lewat Difabis, dan semuanya kebetulan memiliki pengalaman membuat kue. Dari pengalamannya itu lah Irbah semakin menekuni usahanya dan sampai saat ini terus berusaha untuk melibatkan sesama pekerja Tuli.

“Aku punya mimpi untuk membantu orang-orang lain untuk buat usaha merekrut disabilitas lebih banyak, agar penyandang disabilitas bisa berkarya dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.” Tuturnya.

Berbeda dengan Irbah, Alifah kakaknya yang berusia 30 tahun, memiliki ketertarikan dalam bidang fashion. Awal mulanya, saat masih kecil Alifah senang bermain Barbie dan menggunting-gunting pakaiannya. Lambat laun, membuat pakaian sendiri untuk boneka Barbie betul-betul menjadi hobi Alifah. Kedua orang-tua Alifah yang tadinya ingin memasukkannya ke SMA umum, setelah melihat konsistensi serta tekad Alifah di bidang fashion, akhirnya memperbolehkannya untuk bersekolah di SMK. Akan tetapi, sekolah fashion ternyata tidak semudah yang Alifah pikir, dan kurikulum pembelajarannya sangat sulit untuk ia pelajari.

Aku mulai merasa berbeda dan tidak mau melanjutkan sekolah fashion. Tapi mamaku inisiatif untuk mencarikan kursus menjahit untukku, supaya tetap ada perkenalan pertama tentang dunia fashion.” Kenang Alifah tentang dukungan ibunya di kala itu”

Berkat niatnya dalam mendalami seni merancang baju, dan usaha kerasnya belajar menjahit, perlahan Alifah memberanikan diri untuk menerima orderan menjahit. Bahkan ketika melanjutkan sekolahnya pada jenjang perguruan tinggi, ia juga masih mengerjakan orderan menjahit dari teman-teman dan kenalannya di setiap akhir pekan. Adakala momen dimana Alifah mulai meragukan diri sendiri, namun ada dosen pembimbingnya sebagai sosok pemantik keyakinan Alifah untuk terus mengembangkan usahanya lebih lanjut.

Setelah kuliah, aku gak tau kedepannya mau jadi apa, terkadang gak konsisten selama dua tahun itu. Tiba-tiba ada dosen pembimbingku yang tahu kemampuanku itu, dia bilang “Alifah, kamu itu harus konsisten terima orderan. Orderan itu modelannya bukan yang biasa-biasa saja, tapi merata gitu (membuat desain modelnya) macam-macam” karena dosenku merasa aku bisa ke level yang lebih tinggi.

Perjuangan Alifah tentu tidak selalu menemukan jalan yang mulus, ia pernah mencoba mendaftar di tiga perusahaan high-end brand yang cukup terkenal, sampai ke tahap panggilan interview dan ditolak. Alifah merasa janggal sebab menurutnya jika ketiga perusahaan tersebut meragukan kemampuannya, dari manakah mereka menilai hal itu? Portofolio Alifah selalu mendapatkan pujian ketika sampai pada proses seleksi, tetapi begitu bertemu face-to-face dengan Alifah, tanpa memberi alasan mereka langsung (Alifah mencontohkan gestur recruiter) “Mohon maaf” menolaknya.

Hingga saat ini, Alifah akhirnya membuat clothing brand-nya sendiri yang bernama ‘Aleefa the Label’ dan sama seperti Irbah, ia juga mengelola usahanya sendiri. Alifah tahu bahwa orang-orang masih memandang (dan melekatkan) stigma ‘tidak bisa bekerja’, ‘tidak mandiri’, ‘manja’ kepada penyandang disabilitas. Akan tetapi, baik dirinya maupun Irbah meyakini bahwa setiap Tuli memiliki kemampuannya masing-masing dan justru tidak sedikit Tuli yang diterima kerja oleh perusahaan dibiarkan ‘menganggur’ hanya karena ia Tuli. Hal itu membuktikan bahwa letak permasalahannya bukan lah pada kurangnya kapabilitas Tuli dalam bekerja, namun persepsi perusahaan ataupun orang dengar lainnya yang masih mendiskreditkan kerja-kerja Tuli

Makanya aku mencoba, siapa tahu usaha itu menjadi kesempatan bagi orang lain, untuk menunjukkan kemampuan kepada mereka (orang dengar) bahwa disabilitas itu bisa melakukan apa saja, dan (kita bisa) mempromosikan kemampuan disabilitas kepada perusahaan yang memandang sebelah mata itu.” Pungkas Irbah.

Masih erat kaitannya dengan passion, Chatrin seorang ilustrator Tuli, memulai usahanya atas dasar keinginan untuk membagikan karyanya pada orang terdekat, teman-teman, dan masyarakat. Chatrin terkenal produktif membuat merchandise yang bertajuk Bahasa Isyarat, dunia Tuli, anime fandom, dan self-love art dengan ilustrasi yang ia gambar sendiri. Karyanya tersebut sudah sering dijual baik online maupun offline. Biasanya, Chatrin akan membuka booth di sebuah bazaar/acara, menyusun dan menjaga booth, hingga melayani customer-nya sendiri. Ia pernah berjualan di Jakarta, Bandung, Tangerang, Yogyakarta, bahkan sampai ke Singapura. Chatrin tidak pernah terlewat dalam memberitahu pengikutnya di Instagram tentang jadwal booth ‘Art by Nirtch’ miliknya.

Saya menyusun waktu untuk mem-planning ilustrasi yang saya ingin kembangkan, dan saya mencari beberapa vendor yang membuka booth untuk berbagi ketertarikan yang sama.

Jelas Chatrin ketika ditanya mengenai caranya mengembangkan usaha sendiri.

Satu hal yang membuat Chatrin cukup menonjol adalah kelincahannya dalam mengelola usahanya, dimana dia tidak hanya menjadi pencetus konsep sebagai ilustrator, namun juga memproduksi dan memasarkan karyanya sendiri, bahkan berinteraksi langsung dengan pembeli. Chatrin mengakui, kendala yang dihadapi juga tidak mudah, masalah aksesibilitas seperti keterbatasan informasi dan komunikasi dalam hal-hal teknis seperti tech meeting bersama penyelenggara saat membuka booth di beberapa event, dan juga saat melayani pembeli.

“Beberapa teman dengar merasa saya tidak bisa berinteraksi untuk transaksi jual beli, namun saya masih bisa berinteraksi dengan cara lain. Ada beberapa terutama bagian customer memakai masker (saat berkomunikasi) agak sulit berinteraksi.”

Chatrin mengakali masalah tersebut dengan menunjukkan beberapa produk yang dijual dengan opsi gambar yang sudah ia siapkan terlebih dahulu. Sehingga, pembeli bisa langsung menunjuk gambar yang sudah ada. Akan tetapi, Chatrin menjelaskan bahwa dirinya lebih nyaman apabila pembeli mau melepas masker sementara dan menggunakan isyarat tangan untuk memberi tahu berapa jumlah produk yang ingin mereka beli, atau bisa juga dengan mengetik melalui notes di handphone.

Sangat menarik bagaimana Irbah, Alifah, dan Chatrin, ketiga perempuan Tuli pengusaha ini, memiliki latar belakang yang berbeda-beda, akan tetapi berangkat dari satu semangat yang sama, yaitu keinginan besar untuk menunjukkan keahlian masing-masing pada bidang yang diminati. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan mereka memilih untuk berwirausaha adalah pemahaman serta pengalaman pribadi yang mengukuhkan bahwa terdapat eksklusi baik pada skala kecil maupun besar terhadap pekerja Tuli dalam dunia kerja yang didominasi oleh orang-orang dengar. Sehingga, timbul kesadaran untuk tidak hanya membuka peluang kerja bagi dirinya, namun juga dengan harapan mampu merekrut sesama pekerja disabilitas dan Tuli.

Komunitas Tuli FeminisThemis merupakan sebuah komunitas yang berfokus di isu kesehatan seksual dan reproduksi, kesetaraan gender, serta aksesibilitas media Tuli.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content