Oleh : Indri Ayu Tikasari
Editor : Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID
–
Sumber: Arsip Yayasan Inklusif
Dalam laporan tahunan 2024 yang disusun oleh Yayasan Inklusif menunjukkan adanya tren peningkatan jumlah terjadinya pelanggaran KBB di wilayah Jabodetabek dibanding tahun 2023. Pada tahun 2023 terekam sebanyak 35 tindakan pelanggaran terhadap KBB terjadi di Jabodetabek. Jumlah pelanggaran KBB ini mengalami peningkatan pada tahun 2024, yaitu sebanyak 40 tindakan pelanggaran KBB didokumentasikan oleh Yayasan Inklusif.
Data melaporkan bahwa pelanggaran KBB terjadi paling tinggi pada bulan September 2024, yaitu sebanyak 6 peristiwa dan 9 tindakan. Meskipun bulan September 2024 bertepatan dengan masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia, namun belum dapat dipastikan keterkaitan secara langsung antara dua fenomena tersebut.
Meskipun demikian, terdapat satu hal pasti tentang maraknya penggunaan strategi kampanye yang memanfaatkan identitas agama pada Pilkada Provinsi Jakarta telah berkontribusi besar pada meningkatnya polarisasi di kalangan masyarakat, yang mana ini merupakan lahan subur bagi tumbuh kembangnya tindakan intoleransi.
Salah satu contoh nyata adalah ucapan Calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut 1, Suswono dalam salah satu kegiatan kampanyenya menyebutkan bahwa Nabi Muhammad merupakan “pemuda pengangguran” yang menikahi janda kaya bernama Siti Khadijah. Pernyataan ini tentu langsung memicu reaksi keras di kalangan umat islam hingga berujung pada laporan hukum terhadap Suswono.
Hal ini senada dengan data yang menunjukkan bahwa Jakarta sebagai pusat pemerintahan Indonesia tercatat sebagai wilayah paling tinggi terjadinya pelanggaran, yaitu sebanyak 15 peristiwa dan 19 tindakan pelanggaran KBB. Kota Tangerang menjadi kota kedua dengan jumlah pelanggaran KBB paling banyak kedua, yaitu sebanyak 5 peristiwa dan 10 tindakan.
Hal menarik yang perlu diperhatikan dalam sebaran terjadinya pelanggaran KBB selama tahun 2024 adalah tidak ditemukannya pelanggaran KBB terjadi di Kota Depok. Namun hal ini bukan berarti bahwa Depok bebas dari isu tersebut, melainkan adanya keterbatasan dalam pelaporan dan dokumentasi peristiwa pelanggaran. Hal ini juga menjelaskan bahwa dinamika pelanggaran KBB tidak hanya bergantung pada kejadian faktual semata, namun juga dipengaruhi oleh eksposur media, sensitivitas publik, dan efektivitas advokasi oleh organisasi masyarakat sipil.
Pemidanaan berdasarkan agama/keyakinan menjadi salah satu bentuk tindakan pelanggaran KBB paling tinggi di Jabodetabek pada tahun 2024. Laporan tahunan 2024 yang disusun oleh Yayasan Inklusif mencatat sebanyak 9 kasus pemidanaan berdasarkan agama/keyakinan terjadi di Jabodetabek pada 2024, kemudian bentuk pelanggaran lain yang juga terjadi ialah pembatasan/pelarangan pembangunan properti dan intimidasi/ancaman yang masing-masing terjadi sebanyak 6 kali, dan pelarangan/penghentian ibadah terjadi sebanyak 5 kali pada tahun 2024.
Sumber: Laporan Tahunan Kondisi KBB di Jabodetabek dan Politisasi Agama di Indonesia 2024
KBB Merajalela, Siapa saja Aktornya?
Data yang didokumentasikan oleh Yayasan Inklusif melaporkan bahwa aktor non-negara merupakan kelompok yang paling dominan menjadi aktor pelanggaran KBB di tahun 2024. Laporan Tahunan Kondisi KBB di Jabodetabek 2024 mencatat bahwa aktor non negara terlibat pada 20 peristiwa pelanggaran dengan 31 tindakan, sedangkan aktor negara terlibat dalam 6 peristiwa dan 9 tindakan pelanggaran KBB.
Intensitas keterlibatan aktor diatas menunjukkan terjadinya sebuah pergeseran kontrol sosial yang tidak hanya dimiliki oleh negara semata melalui instrumen hukum dan kebijakannya, namun juga mulai dipengaruhi oleh masyarakat sipil itu sendiri.
Hal diatas juga dikonfirmasi oleh temuan lain yang terdokumentasi dalam laporan tahunan 2024 ini, yaitu Ketua RT dan Ketua RW yang merupakan pemimpin dalam komunitas terkecil di Indonesia juga tercatat sebagai pelaku aktor negara paling banyak yang terlibat dalam pelanggaran KBB Jabodetabek 2024.
Keterlibatan Ketua RW dalam pelanggaran KBB terjadi di Kota Bogor pada April 2024, dimana Ketua RW 08 di Kelurahan Gunung Batu bersama dengan warga sekitar mengajukan petisi kepada Pemerintah Kota Bogor yang mana menuntut dikeluarkannya Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dari wilayah mereka. Hal ini diperparah dengan respons yang diberikan oleh pemerintah kerap membenarkan tindakan represif terhadap kelompok minoritas dengan dalih “menjaga ketertiban umum”.
Dalam kasus penyegelan masjid Al-Hidayah di Depok yang merupakan tempat beribadah sebagian kelompok jemaat Ahmadiyah, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Depok menyebutkan bahwa penyegelan Masjid Al-Hidayah merupakan langkah preventif yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kemudian Pemerintah Kota Depok mengonfirmasi bahwa penyegelan masjid tetap dilakukan meskipun Masjid Al-Hidayah telah memiliki izin resmi. Tindakan ini dinilai sebagai upaya untuk menjaga ketertiban umum dengan merujuk pada laporan keresahan masyarakat.
Ketua Penyuluh Agama Kementerian Agama Kota Depok, Ahmad Fahruddin Murodi menilai bahwa penyegelan masjid Al Hidayah merupakan bentuk ketidakberanian pemerintah menghadapi tekanan eksternal. Pemerintah dianggap hanya berusaha untuk mengambil langkah aman bagi pihaknya, namun abai terhadap fungsinya untuk mendamaikan konflik dan memastikan perlindungan hak-hak warga negara, termasuk kelompok minoritas
Melihat pada konflik dan tantangan kompleks yang dihadapi dalam menjunjung KBB di Indonesia dalam data yang terangkum dalam Laporan Tahunan Kondisi KBB di Jabodetabek dan Politisasi Agama di Indonesia 2024, Yayasan Inklusif tentu memuat beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan oleh stakeholder terkait. Salah satunya ialah Mendesak pemerintah daerah memberikan pelatihan dan sosialisasi kepada aparat RT dan RW mengenai hak-hak kebebasan beragama, serta memastikan mereka memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip hukum yang melindungi keberagaman agama, untuk mencegah terjadinya pelanggaran di tingkat komunitas.
Selain itu sebagai respons dari fenomena “main aman” yang kerap dilakukan oleh pemerintah daerah, laporan tahunan ini mendesak pemerintah daerah meningkatkan kapasitas aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan dalam penanganan konflik berdimensi agama melalui pelatihan yang berbasis pada prinsip-prinsip penyelesaian konflik yang adil, objektif, dan inklusif serta membangun mekanisme penyelesaian konflik yang lebih proaktif dan tidak memberatkan kelompok terdampak. Sehingga diharapkan pemerintah daerah memiliki kapasitas yang baik dan mumpuni dalam menangani kasus pelanggaran KBB yang terjadi di wilayahnya dengan adil dan menghormati nilai-nilai inklusivitas yang ada di masyarakat.