Memahami Tantangan yang Dihadapi oleh Masyarakat Kota Medan dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan bersama SETARA Institute

Loading

Oleh : Indri Ayu Tikasari
Editor : Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID

Gambar 1. Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) – Pemetaan Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Kota Medan
Sumber: Dokumentasi Arsip SETARA Institute

SETARA Institute bersama dengan konsorsium INKLUSI telah berhasil menyelenggarakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Pemetaan Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Kota Medan pada Jumat, 21 Juni 2024 di Grand Kanaya Hotel, Medan. 

Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan peta gambar yang lebih jelas terkait kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Kota Medan dengan membuka ruang diskusi yang aman bersama dengan rekan-rekan dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), Institusi Pemerintah, komunitas penghayat kepercayaan, dan organisasi keagamaan. 

Kegiatan diskusi yang dihadiri oleh 24  peserta yang berasal dari kelompok agama/kepercayaan dan organisasi masyarakat yang beragam seperti Ahmadiyah, Sikh, Parmalim, Kontras, Bakumsu dan lainnya ini telah mampu memotret beragam jenis pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang nyatanya masih bercokol di Kota Medan. 

Salah satu bentuk pelanggaran dirasakan oleh kelompok penghayat kepercayaan di Medan, tidak sedikit masyarakat yang tergabung dalam kelompok penghayat kepercayaan Parmalim mengalami hambatan administrasi di Kota Medan, terutama dalam kaitannya untuk urusan pernikahan bagi penghayat kepercayaan. 

Anggota Parmalim harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk pergi ke Deli, Serdang guna melangsungkan pernikahannya supaya tercatat sebagai pernikahan yang sah dan diakui oleh negara, di sisi lain penghayat kepercayaan telah diakui oleh negara melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016.

Salah seorang peserta yang berasal dari GBI Filadelfia Martubung juga turut membagikan keresahannya terkait tindak diskriminasi yang menyasar agama Kristen, dimana pada tahun 2019 terjadi persekusi di salah satu gereja di Martubung. Selain itu juga pernah terjadi penutupan rumah ibadat umat Kristen di Kecamatan Tanjung Morawa dan Kecamatan Medan Marelan. Hal-hal demikian jika tidak ditangani dengan tepat, maka akan membawa kita lebih jauh pada perdamaian antar umat beragama dan berkeyakinan. 

Sengketa pembangunan rumah ibadat ini erat sekali kaitannya dengan persyaratan administratif yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9, 8 Tahun 2006, Pasal 14 (2) atau SKB 2 Menteri. Peraturan tersebut  menyebutkan beberapa syarat untuk mendapatkan izin mendirikan rumah ibadat, salah satunya adalah mendapatkan dukungan dari 60 orang yang tinggal di lingkungan rumah ibadat yang akan dibangun. Ketentuan seperti ini kerap kali menyulitkan kelompok agama minoritas dalam mendirikan rumah ibadahnya.

Gambar 2. Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) – Pemetaan Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Kota Medan
Sumber: Arsip Dokumentasi SETARA Institute

Meskipun Kota Medan masih menghadapi berbagai tantangan dalam mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan, baik dalam bentuk regulasi, intoleransi sosial, hingga diskriminasi administratif, namun sebagai kota besar yang kaya akan sejarah, budaya, dan keberagaman etnis maupun agama, Medan memiliki potensi besar untuk menjadi contoh toleransi dan inklusi di Indonesia. Dengan komitmen kuat dari pemerintah daerah, dukungan masyarakat sipil, serta keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat, Medan ke depan dapat bertransformasi menjadi kota yang tidak hanya menghargai perbedaan, tetapi juga menjadikannya sebagai kekuatan utama dalam membangun masyarakat yang adil, damai, dan setara bagi semua warga.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content