Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI
–
Sumber: Arsip Dokumentasi Fatayat NU Jawa Barat
Bandung, 22 Mei 2024 – Fatayat NU Jawa Barat kembali mengadakan diskusi pengenalan Islam damai untuk forum kajian keagamaan seri keempat yang telah dilaksanakan pada 22 Mei 2024 di Gedung Dakwah PWNU, Bandung, Jawa Barat. Forum diskusi ini dilatarbelakangi oleh tren keberadaan intoleransi yang mengarah pada aksi radikalisme yang tercermin dari serangkaian aktivitas. Misalnya aksi teror yang terjadi di beberapa tempat, diantaranya adalah aksi bom bunuh diri yang menargetkan tiga tempat ibadah di Surabaya pada 13 dan 14 Mei 2018, meliputi Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat, GKI diPonegoro, dan Gereja Santa Maria Tak Bercela. Ada pula pengeboman di Katedral Makassar pada 28 Maret 2021 dan di Polsek Astana Anyar Kota Bandung pada 7 Desember 2022. Kemudian tercatat bahwa selama tahun 2023, BNPT RI berhasil mengidentifikasi sebanyak 2.670 konten digital yang mengandung unsur intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Sebanyak 40 peserta hadir yang didominasi oleh perempuan untuk berdiskusi bersama membahas isu radikalisme dan terorisme dari berbagai sudut pandang, melibatkan beberapa organisasi dan lembaga seperti Peace Generation, Bakesbangpol Jawa Barat, dan Densus 88. Ketiga narasumber menyampaikan materi tentang pentingnya kewaspadaan dini dan peran aktif masyarakat dalam mencegah penyebaran paham radikal, khususnya di kalangan orang muda. Para peserta juga berdiskusi tentang berita-berita terorisme yang terjadi di sekitar mereka, seperti kasus bom bunuh diri di Astana Anyar, yang memunculkan rasa takut dan keprihatinan.
Belajar dari Peace Generation dalam Menangkal Ekstremisme, Radikalisme dan Intoleransi
Narasumber pertama yaitu Ani Farhani dari Peace Generation membawakan materi tentang “Kewaspadaan Dini terhadap Tindak Radikalisme dan Terorisme di Jawa Barat”. Ani turut menjelaskan alasan mengapa seseorang bergabung dengan kelompok kekerasan, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga faktor utama. Pertama, faktor personal seperti trauma psikologis, kesepian, dan kebingungan. Kedua, faktor dorongan yang mencakup lingkungan, kondisi ekonomi, masalah keluarga, dan ketidakadilan. Ketiga, faktor penarik yang berupa ajakan menarik, imbalan materi, keinginan untuk diterima, prestise, dan janji surga.
Ani juga menguraikan perbedaan antara ekstremisme kekerasan, radikalisme, dan intoleransi. Ekstremisme kekerasan melibatkan keyakinan bahwa orang di luar kelompok layak dihancurkan dengan cara kekerasan. Radikalisme mencerminkan pandangan bahwa kelompok sendiri paling benar, dengan sikap membenci perbedaan dan diskriminatif. Sedangkan intoleransi menunjukkan ketidaksukaan terhadap orang yang berbeda dan melihat perbedaan sebagai hambatan.
Dalam diskusi ini, Ani juga menjelaskan untuk tidak menutup mata, bahwa ekstrimisme dan radikalisme juga berdampak terhadap keluarga pelaku, dalam hal ini terdiri dari istri/suami dan anak-anak pelaku yang mendapatkan stigma negatif oleh masyarakat. Imas salah satu peserta juga mempertanyakan sejauh mana negara hadir untuk mendampingi keluarga pelaku teror yang kerap mengalami stigma sosial dan kesulitan ekonomi. Menurut Imas, mereka juga menjadi korban dari situasi tersebut. Sehingga idealnya adalah komunitas masyarakat perlu diperkuat agar bisa menjadi ruang aman dan suportif bagi individu yang rentan, sekaligus menjadi garda terdepan dalam mengenali dan menangkal potensi penyebaran paham ekstrem. Kolaborasi antara masyarakat, negara, dan organisasi masyarakat sipil menjadi kunci dalam membangun ketahanan terhadap ekstrimisme dan radikalisme.
Ani juga berbagi pengalamannya tentang bagaimana Peace Generation menjalankan Program SITI (Sistem Deteksi & Penanganan Dini Ekstremisme Kekerasan Berbasis Desa dan Kelurahan) yang dirancang untuk mencegah penyebaran ideologi ekstremisme kekerasan agar warga tidak terjebak dalam proses radikalisasi yang lebih berisiko. Program ini mencakup pemilihan dan penilaian wilayah, pengurusan izin ke Bakesbangpol Kota Bandung, dan sosialisasi program. Peace Generation juga melakukan pelatihan dan penguatan kapasitas bagi berbagai pihak, seperti PKK, guru PAUD, hingga pemuda, sesuai kebutuhan mereka. Mulai dari pelatihan berpikir kritis, pembuatan konten media, hingga pembelajaran kreatif untuk anak usia dini. Meski hanya berjalan selama satu tahun enam bulan, namun program ini menghasilkan berbagai dampak, termasuk inisiatif warga dalam menyusun rekomendasi kebijakan, seperti pentingnya pendataan warga kontrakan untuk mencegah keberadaan individu yang tak terpantau.
Mengetahui Kontra Radikalisme
Kegiatan berlanjut dengan Drs. Tulus TH Sibuea, M.Si dari Bakesbangpol Jabar yang membawakan materi tentang “Kontra Radikalisme dan Terorisme dalam Konteks Pemerintahan Jawa Barat”. Tulus menjelaskan materi ini berdasarkan program dan regulasi yang telah ada di Jawa Barat. Tujuannya adalah menjalankan strategi yang komprehensif dan sistematis dengan melibatkan peran aktif dari semua pemangku kepentingan di daerah. Jawa Barat sendiri memiliki peraturan dalam pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan terorisme, yang termuat dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 40 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme (RAD PE Jawa Barat).
Hal penting dalam penyampaian Tulus yaitu, pertama tentang optimalisasi peran masyarakat, dalam hal ini melibatkan masyarakat secara setara dalam pencegahan dan pemberantasan aktivitas yang mengarah pada radikalisme di lingkungan sekitarnya. Kedua, perlu adanya peningkatan kualitas pendidikan dan literasi media sosial, agar masyarakat tidak tergiring arus opini oleh penyebaran hoax atau pun berita yang bernuansa radikalisme. Misalnya, konten viral positif akan merubah mindset dan inilah yang dimaksud dengan kontra atau melawan. Ketiga, adanya kurikulum anti radikalisme dan anti terorisme yang perlu diakses oleh masyarakat secara luas.
Sumber: Arsip Dokumentasi Fatayat NU Jawa Barat
Tulus menyampaikan bahwa Bakesbangpol sendiri telah berkomitmen dalam bentuk aksi nyata dengan pembentukan Forum Multi Stakeholder untuk Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan (PEBK), Penguatan Nasionalisme di Kampus, Kolaborasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan inisiatif dalam menghadapi ancaman radikalisme di kampus.
Strategi Pencegahan Radikalisme dan Deradikalisasi
“Radikalisme dan terorisme digambarkan sebagai sebuah proses bertahap seperti pohon, di mana akar adalah intoleransi (pemikiran tertutup dan menyimpang), batang adalah radikalisme (perubahan sikap dan perilaku), dan buahnya adalah terorisme (aksi kekerasan). Seseorang yang awalnya hanya intoleran bisa berkembang menjadi radikal, lalu menjadi pelaku teror ketika bergabung dalam kelompok tertutup, mengalami perubahan perilaku, serta mulai menjauhi nilai-nilai kebangsaan seperti menolak menghormat bendera atau menyanyikan lagu Indonesia Raya.” Jelas Satori, SH., MH dalam menyampaikan materi ketiga untuk pencegahan radikalisme dan deradikalisme.
Perkembangan jaringan kelompok teror di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dinamika global dan nasional yang saling mempengaruhi. Di tingkat global, konflik di Timur Tengah, propaganda kelompok transnasional seperti ISIS dan Al-Qaeda, serta penyebaran ideologi radikal melalui media sosial telah memberikan pengaruh signifikan terhadap munculnya simpatisan dan sel-sel teror lokal di Indonesia. Sementara itu, secara nasional, isu ketidakadilan, lemahnya penegakan hukum, serta penyalahgunaan kebebasan berpendapat sering dimanfaatkan untuk menyebarkan paham radikal. Di Indonesia, setidaknya terdapat tiga macam radikalisme yang berkembang. Pertama, radikalisme politik yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi khilafah, serta menolak sistem demokrasi dan mengampanyekan tegaknya khilafah atau NKRI bersyariah. Kedua, radikalisme jihadi yang menghalalkan kekerasan dan pembunuhan terhadap orang yang berbeda keyakinan atau pemahaman, dengan keyakinan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk jihad. Ketiga, radikalisme dakwah yang menyebarkan sikap eksklusif dan intoleran melalui pengajaran keagamaan, seperti menekankan soal bid’ah, pengkafiran, dan narasi yang dapat memecah belah masyarakat.
Strategi pencegahan radikalisme dan terorisme bisa dilakukan dengan memperkuat pendidikan agama yang moderat, membangun kolaborasi lintas sektor (termasuk organisasi masyarakat, pemerintah, dan komunitas), serta melakukan literasi digital mengingat media sosial menjadi sarana utama penyebaran paham radikal. Jawa Barat disebut sebagai episentrum pergerakan karena tingginya pengguna internet dan sejarah panjang kelompok radikal di sana. Terakhir, perlu adanya upaya deradikalisasi yang dilakukan di lapas dan komunitas, dengan mengangkat pentingnya pendampingan dari tokoh agama yang kredibel serta pendekatan kemanusiaan agar bisa diterima secara terbuka oleh penerima manfaatnya.
Forum pengenalan Islam damai untuk forum kajian keagamaan merupakan bagian dari aktivitas Program INKLUSI yang digagas konsorsium lembaga masyarakat sipil yang bertujuan untuk pemberdayaan kepemimpinan dalam memperkuat Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan menjadikan masyarakat tangguh di sektor strategis.
Referensi
[1] Setiawan, M. Fikri. (2019) Antaranews: BNPT temukan 2.670 konten radikalisme dan terorisme sepanjang 2023. Diakses pada 27 Mei. https://www.antaranews.com/berita/3892506/bnpt-temukan-2670-konten-radikalisme-dan-terorisme-sepanjang-2023