
17 Maret 2025
JAKARTA — Kekerasan dalam dunia pendidikan masih menjadi bayang-bayang gelap dalam sistem pembelajaran di Indonesia. Sepanjang tahun 2024, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menerima 184 aduan pelanggaran HAM di sektor pendidikan. Bentuknya beragam: kekerasan fisik dan verbal, diskriminasi terhadap murid dari kelompok minoritas, hingga pengabaian hak atas pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Situasi ini memperlihatkan bahwa masih banyak ruang dalam sistem pendidikan kita yang belum menjadi tempat aman dan adil bagi semua. Dalam konteks inilah, pelatihan bertajuk Sekolah Ramah HAM pada Ekosistem Sekolah, yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru (YCG) dan INFID secara daring pada 21–22 Februari dan 5–8 Maret 2025, menjadi langkah penting. Kegiatan ini melibatkan puluhan guru dari berbagai wilayah di Indonesia—dari Medan hingga Kupang, dari Pandeglang hingga Makassar.
Pelatihan ini bukan sekadar ruang transfer pengetahuan. Ia hadir sebagai wadah pembelajaran kolektif dan reflektif, mempertemukan beragam pengalaman dan mendorong lahirnya kesadaran baru akan pentingnya pendidikan yang inklusif, adil, dan bebas kekerasan.
Sekolah Ramah HAM: Visi yang Membumi dalam Praktik
Ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu, menegaskan bahwa Sekolah Ramah HAM bukan hanya soal menghindari kekerasan, tetapi soal memanusiakan setiap individu. Hak asasi manusia, katanya, harus menjadi pondasi utama dalam proses pendidikan.
“Kita harus mulai dari pengakuan atas keragaman di dalam kelas, membuka ruang bagi setiap suara, dan membebaskan diri dari bias-bias yang mengurung cara kita melihat murid,” ujarnya. Henny mencontohkan, bagaimana stereotip seringkali muncul dalam keseharian: anak laki-laki yang ingin menari, atau anak perempuan yang ingin bermain sepak bola, kerap diarahkan kembali ke peran-peran gender tradisional yang membatasi.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya kemandirian guru dalam membaca konteks dan mengembangkan kurikulum yang berpihak pada kebutuhan anak. “Pendidikan bukan sekadar mengikuti garis pemerintah. Guru punya tanggung jawab profesional dan moral untuk menciptakan ruang belajar yang memartabatkan setiap anak,” tambahnya.
Melampaui Label: Mengapa Istilah “Nonis” Tak Lagi Relevan di Sekolah
Di banyak ruang kelas di Indonesia, masih lazim terdengar istilah “nonis” — singkatan dari “non-Islam” — digunakan untuk menyebut murid-murid yang tidak memeluk agama Islam. Istilah ini kadang diucapkan tanpa niat buruk, bahkan dianggap wajar. Namun dalam pelatihan Sekolah Ramah HAM yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru dan INFID, Februari 2025, muncul refleksi kritis: benarkah label itu netral?
Ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu, dengan tegas menyatakan bahwa penggunaan istilah seperti “nonis” atau “non-Muslim” dalam ruang pendidikan justru bertentangan dengan semangat keragaman dan hak asasi manusia.
“Label semacam itu bukan hanya menyederhanakan identitas, tetapi juga menciptakan batas-batas semu yang membentuk polarisasi. Kita tidak sedang membangun identitas dalam dikotomi ‘kita dan mereka’,” tegas Henny dalam salah satu sesi pelatihan.
Istilah “nonis” secara tak langsung menempatkan murid dalam posisi sebagai “yang lain” — bukan bagian dari arus utama, tetapi pengecualian dari norma. Padahal, dalam ruang belajar yang ramah HAM, setiap murid berhak mendapat pengakuan yang setara tanpa dilabeli berdasar mayoritas atau minoritas.
Dalam praktiknya, penyebutan “nonis” sering kali muncul dalam kegiatan keagamaan di sekolah—baik secara administratif (seperti daftar kehadiran ibadah) maupun kultural (seperti pengumuman atau spanduk kegiatan rohani). Istilah itu mungkin tampak teknis, tetapi dampaknya tidak ringan.
Bagi murid yang disebut sebagai “nonis”, identitasnya kerap tidak dirayakan. Ia dilihat bukan karena siapa dirinya, melainkan karena siapa dia bukan. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menimbulkan rasa keterasingan dan menurunkan rasa memiliki terhadap komunitas sekolah.
Menurut Henny, jika kita sungguh ingin membangun sekolah yang inklusif dan manusiawi, maka harus dimulai dari bahasa. “Bahasa membentuk cara pandang. Dan cara pandang membentuk cara kita memperlakukan orang lain,” ujarnya.
Ruang Setara pada Ekosistem Pendidikan
Alih-alih menempatkan murid dari latar agama minoritas dalam kerangka “non”, Henny mendorong pendekatan yang memberi ruang dialog. Misalnya, ketika sekolah tidak memiliki guru agama untuk keyakinan tertentu, bukan berarti murid dibiarkan tanpa pembelajaran. Guru bisa membuka ruang interaksi yang setara, seperti meminta murid menceritakan pengalaman spiritualnya—apa arti puasa dalam kepercayaannya, bagaimana ia merayakan hari besar agamanya, dan sebagainya.
Langkah kecil ini bukan hanya soal berbagi, tetapi juga soal membangun rasa dihargai.
“Sekolah harus menjadi ruang tumbuh yang tidak menciptakan yang utama dan yang sampingan. Semua murid berhak untuk didengarkan dan diakui, tanpa dikelompokkan secara identitas negatif,” kata Henny.
Penolakan terhadap istilah “nonis” bukan sekadar soal sensitivitas bahasa. Ia mencerminkan kesadaran yang lebih luas bahwa sekolah—sebagai institusi pembentuk karakter bangsa—tidak boleh menjadi tempat di mana identitas anak-anak dikerdilkan oleh istilah yang membatasi.
Pelabelan seperti “nonis” mengisyaratkan bahwa agama mayoritas adalah norma, dan yang lain adalah pengecualian. Dalam sistem yang ingin menegakkan keadilan sosial dan penghormatan terhadap keberagaman, cara pandang ini harus ditinggalkan.
Pelatihan Sekolah Ramah HAM ini mengajak para pendidik untuk meninjau ulang bukan hanya kurikulum dan kebijakan, tetapi juga kosa kata sehari-hari di sekolah. Karena sekolah yang sungguh ramah HAM bukan hanya yang bebas dari kekerasan, tapi juga yang peka terhadap makna dari setiap kata yang dipilih untuk menyebut murid-muridnya.
Karena pada akhirnya, anak-anak tidak hanya belajar dari apa yang kita ajarkan. Mereka belajar dari bagaimana mereka dipanggil. (FI/MM)