Melihat Strategi Diplomasi Nabi dalam Perjanjian Hudaibiyah

Loading

Penulis Salman Akif Faylasuf 10 Desember 2024

Melihat Strategi Diplomasi Nabi dalam Perjanjian Hudaibiyah

BincangSyariah.Com– Saat itu setelah perjanjian Hudaibiyah disetujui dan ditandatangani, kaum Muslimin merasa kecewa dengan hasilnya dan menganggapnya sebagai kelemahan dan kekalahan. Keengganan Umar bin Khattab terhadap perjanjian ini dapat dilihat dari sikapnya yang tidak puas, menganggapnya sebagai penghinaan terhadap Islam, Nabi, dan pengikutnya.

Kaum Muslimin pasti tidak menyukai syarat-syarat itu, tetapi mereka tetap diam karena menghormati sikap perdamaian Nabi Muhammad Saw. Karena kemurahan hati dan keluhuran budi Nabi Muhammad saw. dalam menyetujui perjanjian ini, ada sedikit ketidakpuasan di antara pengikutnya. Namun demikian, Nabi Muhammad Saw. meyakinkan mereka akan pendirian yang benar dan akan menghasilkan hasil yang baik.

Sebenarnya, pemikiran para sahabat tersebut adalah dasar kekecewaan karena perjalanan dari Madinah ke Hudaibiyah yang membutuhkan banyak perjuangan fisik dan kerinduan mereka untuk melakukan umrah tiba-tiba sirna.

Meskipun demikian, Nabi Muhammad Saw. mencoba memahami masalah ini dari perspektif yang lebih mendalam, berdasarkan realitas rasional yang tidak dapat ditangkap oleh para sahabat pada saat itu. Akibatnya, reaksi para sahabat terhadap kekecewaan itu adalah reaksi emosional semata.

Anda tahu! Perjanjian Hudaibiyah terbukti dapat menciptakan suasana yang tenang dan aman sehingga penyebaran Islam dapat berlangsung dengan leluasa dan mencapai kemajuan yang pesat. Nabi Muhammad Saw. mengirimkan beberapa pucuk surat kepada raja-raja di berbagai negeri dan kepada penguasa Arab di sekitar semenanjung Arabia.

Surat-surat Nabi Muhammad saw. kepada raja dan penguasa untuk memeluk Islam dikirim oleh sahabat-sahabat yang terpilih, karena mereka memiliki kemampuan diplomatik dan berbicara dengan baik di wilayah yang mereka tuju. Dalam salah satu surat, Nabi Muhammad Saw. membuat stempel bertuliskan tiga kata yang dimulai dengan Muhammad, lalu Rasul, dan kemudian Allah, yang paling tinggi.

Surat-surat itu Nabi ditujukan kepada banyak orang, termasuk Heraclius, kaisar Romawi, Chosroes, Kisra dari Persia, Cyrus, raja Mesir yang dikenal sebagai Muqauqis; Negus, penguasa Abessinia; dan Munzir bin Sawi, penguasa Bahrain.

Lalu bagaimana sebenarnya strategi diplomasi Nabi dalam perjanjian Hudaibiyah?

Perjanjian Hudaibiyah menunjukkan bahwa, Nabi Muhammad Saw. berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Makkah melalui orang-orang netral dan utusan langsung bahwa kedatangan Nabi bukan untuk berperang, akan tetapi untuk umrah dan menghormati Ka’bah. Para utusan yang dikirim Nabi untuk menjelaskan alasan kedatangan mereka ke Makkah.

Salah satu utusan yang diutus oleh Nabi Muhammad Saw. adalah Khurrasy bin Umayyah al-Khuza’i, yang hampir dibunuh oleh kaum Musyrikin Makkah. Namun, Umar kemudian menyarankan agar orang lain melakukannya.

Kenapa demikian? Karena orang Musyrikin Quraisy sangat memusuhinya dan dia tidak akan dilindungi oleh kabilahnya jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Inilah mungkin yang menjadi alasan mengapa dia tidak akan memberikan kelancaran pada pesan yang akan disampaikan.

Setelah perjuangan dan perundingan yang panjang antara Utsman bin Affan dan kaum Musyrikin Quraisy, akhirnya tersiar bahwa Utsman bin Affan telah dibunuh. Mendengar akan ha ini, Nabi Muhammad Saw. kemudian mengajak seluruh rombongannya untuk berbaiat sambil berdiri di bawah pohon.

Semua rombongan dikumpulkan oleh Nabi untuk membulatkan tekad dan bersiap menghadapi kaum Musyrikin Quraisy. Semuanya berjabat tangan dan berjanji setia kepada Nabi dengan semangat yang luar biasa dan iman yang teguh, kecuali seorang munafik bernama al-Jud bin Qais.

Menariknya, apa yang terjadi pada hari Hudaybiyah ketika sahabat Nabi saw melakukan baiat, yang dikenal sebagai “Baiat al-Radwan” atau janji yang dibuat di bawah pohon, yang dihormati secara khusus.

Ini juga sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Jaabir bin Abdullaah, Nabi mengatakan kepada mereka pada hari Hudaybiyah, “Kalian adalah sebaik-baik penghuni bumi, kami seribu empat ratus, dan jika saya menemui Anda hari ini, saya akan menunjukkan pohon itu kepada Anda.”

Ketika terdengar berita bahwa Utsman tidak dibunuh, suasana tegang itu tiba-tiba hilang. Tak lama kemudian, Utsman memberi tahu kepada Nabi bahwa orang Musyrikin Quraisy akan mengirim utusan untuk memeriksa kebenaran bahwa kedatangan Nabi Muhammad Saw. murni hanya untuk berumrah dan beribadah.

Datangnya beberapa utusan

Rupanya, delegasi Budail bin Warqa’ al-Khuzai, utusan pertama Musyrikin Quraisy, percaya bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak bermaksud untuk berperang, melainkan beribadah. Setelah mereka melihat kenyataan di lokasi rombongan kaum Muslimin, Budail dan rekannya kemudian mengatakan kepada tokoh-tokoh Musyrikin Quraisy bahwa beberapa mencurigainya, sebab dia berasal dari suku Khuza’ah, yang selama ini memiliki hubungan baik dengan Nabi Muhammad Saw.

Merasa laporan Budail kurang memuaskan, Musyrikin Quraisy akhirnya mengirimkan Urwah bin Mas’ud, seorang anggota suku Thaqif. Nabi Muhammad Saw. kemudian menjelaskan kepada Urwah sebagaimana ia menjelaskan kepada Budail bin Warqa’.

Meski begitu, Urwah dan salah satu sahabatnya sempat bertengkar, akan tetapi Nabi Muhammad saw. dapat meredamnya. Bahkan, ketika kembali ke Makkah, Urwah meninggalkan ingatan yang mendalam tentang kepribadian Nabi Muhammad saw. dan sikap sahabatnya yang baik.

Sama. Meski sudah mengirim Urwah, namun ternyata mereka puas akan laporannya. Akhirnya, orang-orang Musyrikin Quraisy mengirimkan delegasi Hulais bin al-Qamah. Ketika melihatnya datang, Nabi Muhammad Saw. mengatakan kepada para sahabatnya bahwa Hulais adalah orang yang memiliki rasa keagamaan yang baik. Nabi pun memerintahkannya untuk menggiring unta yang akan diberikan kepada Hulais untuk dilihat.

Tibalah saat setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad Saw. hanya dengan melihat unta-unta yang digiring untuk qurban, akhirnya Hulais merasa tidak perlu menemui Nabi Muhammad Saw. atau mempelajari maksud dan tujuan perjalanan Nabi dan pengikutnya ke Makkah.

Ia kembali ke tokoh-tokoh Muslim Quraisy dan memberi tahu mereka bahwa Nabi Muhammad Saw. hanya datang untuk beribadah dan mengagungkan Ka’bah. Alih-alih menerimanya, beberapa dari mereka tidak senang akan informasi Hulais, bahkan mengejeknya sebagai orang gunung yang bodoh dan mudah ditipu.

Musyrikin Quraisy mengirim delegasi berikutnya, yang dipimpin oleh Mukriz bin Hafs, yang pada akhirnya melaporkan seperti tiga delegasi sebelumnya. Pada akhirnya, Musyrikin Quraisy mengirim Suhail bin Amr dengan mandat penuh, tetapi Suhail tidak mengabaikan satu syarat yang tidak boleh diabaikan: Muhammad dan rombongan tidak diperbolehkan masuk ke kota Makkah pada tahun ini karena alasan apa pun.

Ketika Nabi Muhammad Saw. melihat kedatangan Suhail bin Amr, beliau sangat yakin bahwa mereka akan menemukan solusi terbaik. Keyakinan ini muncul dari nama utusan Musyrikin Quraisy itu, Suhail, yang seakar dengan kata “sahl”, yang berarti mudah, dan beliau bersabda, “Telah dipermudah untuk kalian urusan kalian.” (HR. Ahmad).

Perundingan yang sangat alot

Meskipun perundingan melalui sejumlah utusan atau delegasi berjalan alot, akhirnya tercapai kesepakatan. Nabi Muhammad memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menulis teks perjanjian Hudaibiyah.

Ketika Nabi memerintahkan untuk menulis kalimat “Bismillahirrahmanirrahim”, Suhail menentangnya dengan berkata, “Saya tidak mengenal apa itu al-Rahman al-Rahim, tapi tulislah “bismikaallahumma”.”

Sahabat-sahabat Nabi yang hadir ketika itu menolak dan bersikeras agar “Basmallah” ditulis dengan lengkap. Namun, Nabi Muhammad dengan tegas menyatakan, “Tulislah “bismikaallahumma”, dan katakan, “Inilah keputusan Muhammad.”

Setelah Nabi Muhammad saw. berkata, “Demi Allah, aku adalah Rasulullah, walau kalian mengingkariku tulislah Muhammad bin Abdullah selama kalian membiarkan kami bertawaf di Ka’bah,” Suhail menentang dengan mengatakan, “Seandainya kami mengetahui bahwa engkau adalah Rasulullah, kami tidak menghalangimu berkunjung ke Ka’bah dan tidak juga memerangimu.”

Suhail kemudian menyetujui, tetapi bukan tahun ini. Orang Arab kemudian mengatakan bahwa kami dipaksa. Suhail kemudian menyatakan bahwa dia harus mengembalikan siapapun dari pihak kami yang datang kepadanya, tidak peduli agamanya.

Namun demikian, para sahabat sangat tidak setuju, bagaimana bisa seorang Muslim dikembalikan kepada kaum Musyrik? Putra Suhail binti Amr, Abu Jandal al-Ashi, yang baru saja kembali dari Mekkah, tiba-tiba muncul dalam keadaan seperti itu. Dia berjalan dengan berat karena kedua kakinya dibelenggu.

Suhail lalu berkata, “Ini yang pertama saya tuntut untuk dikembalikan.” Nabi berkata, “Kita belum memutuskan perjanjian.” Kemudian Suhail berkata, “Kalau demikian aku tidak akan mengikat perjanjian apapun.” Nabi berkata, “Kecualikan ini saja.”

Suhail menolak dan berkata, “Aku tidak setuju.” Nabi kemudian bersabda, “Ayolah perkenankanlah yang ini.” Suhail menjawab, “Tidak. Aku tidak akan memperkenankan.” Mukriz, yang juga hadir dalam rombongan Suhail, berkata, “Tapi dalam kenyataan tidak demikian, Abu Jandal tidak diizinkan bergabung dengan kaum Muslim.”

Itu adalah bagian dari proses yang membawa kepada perjanjian Hudaibiyah. Menurut riwayat Bukhari, Suhail bin Amir adalah utusan terakhir yang datang ke Hudaibiyah untuk bertemu Nabi Muhammad Saw. dan sahabatnya.

Dia diberi tugas yang sangat ketat dan tidak dapat diubah, dan orang-orang Musyrik Makkah memberitahunya bahwa, ia harus pergi dari tempat kita tahun ini. Demi Allah, orang-orang Arab tidak boleh berbicara dengan kita tentang fakta bahwa itu datang dengan kekerasan.

Menyepakati Perjanjian Hudaibiyah

Hingga pada akhirnya, kedua belah pihak menyepakati Perjanjian Hudaibiyah, yang mencakup sejumlah detail, seperti: pertama, selama sepuluh tahun gencatan senjata, tidak ada permusuhan atau tindakan buruk terhadap kedua pihak.

Kedua, semua orang yang datang ke Nabi dari kaum Musyrik tanpa izin keluarganya harus dikembalikan ke Mekkah; namun, jika salah satu dari kaum Muslim berbalik dan kembali ke kaum Musyrik, maka ia tidak akan dikembalikan.

Ketiga, semua orang di antara suku-suku Arab dipaksa untuk mengikat perjanjian damai dan bergabung dengan salah satu pihak. Kemudian, suku Khuza’ah bekerja sama dengan mengikat janji pertahanan bersama Nabi Muhammad Saw., dan Banu Bakar memihak kepada kaum Musyrik.

Keempat, tahun ini, Nabi dan rombongan tidak diizinkan untuk masuk kota Makkah. Namun, tahun berikutnya, mereka diizinkan untuk masuk, tetapi hanya untuk tiga hari dan tidak boleh membawa senjata apa pun kecuali pedang yang tidak dihunus. Kelima, perjanjian ini diikat atas dasar ketulusan dan kesediaan penuh untuk melakukannya dengan benar tanpa penipuan atau penyelewengan. Wallahu a’lam bishawab.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content