Ini adalah laporan hasil Kelompok Diskusi Terarah (FGD-Focus group Discussion) yang dilakukan di 6 (enam) kota di Indonesia dengan karakteristik yang berbeda-beda. Tujuan utama dari FGD adalah menemukan dinamika hubungan antar agama dan kepercayaan yang ada di ke-enam lokasi untuk menemukan peran dan fungsi para pemimpin lokal demi terwujudnya perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pemilihan kota-kota yang digunakan sebagai Lokasi FGD dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan karakteristik kota dikaitkan dengan struktur mayoritas dan minoritas yang unik dan berbeda-beda. Keterlibatan panitia lokal menjadi keharusan agar kita bisa menemukan kelompok-kelompok keagamaan dan kepercayaan yang selama ini tidak bisa diketahui keberadaannya oleh masyarakat luar, serta membantu kelancaran pelaksanaan FGD untuk hal-hal teknis lainnya.
Beberapa hal menarik yang menjadi catatan khusus kami dari 6 FGD yang kami lakukan adalah sebagai berikut:
- Secara umum kami menemukan bahwa ada kelompok mikro minoritas di enam kota yang kita kunjungi.
- Di Ambon kami menemukan bahwa masih ada potensi untuk terjadi konflik karena kita melihat beberapa daerah masih dijaga aparat secara khusus.
- Di Manado; meskipun kota itu langganan 10 besar kota tertoleran di Indonesia versi Setara Institute, tapi dari diskusi ada dua hal yang mencolok yaitu peminggiran terhadap kelompok kepercayaan (dalam pertemuan diwakili oleh Lalang Rondor Malesung) dan semacam relasi “bara dalam sekam” antara orang2 Kristen dan Islam. Misalnya ungkapan orang Kristen tentang “kepala KUA Manado dan Sulut kok Islam, padahal ini wilayah mayoritas Kristen”, Atau ungkapan bernada emosional tentang peristiwa didirikannya masjid di lahan bekas Kampung Texas. Peristiwa kericuhan antara massa adat dan massa pro Palestina di Kota Bitung beberapa waktu lalu juga menjadi penanda bahwa daerah Sulut pada umumnya masih ada “bara dalam sekam”
- Di Kupang relasi antara “tuan rumah (tuan tanah) Kristen” dengan pendatang Katolik dari Flores atau pedalaman Timor dan dengan pendatang Islam dari Solor, Alor, Sulawesi Selatan, dan Jawa berjalan dengan baik. Yang menarik nampaknya orang-orang Islam Solor dan Alor menjadi semacam “mediator” antara orang-orang NTT yang kristiani dengan orang-orang Islam non-NTT. Karena dalam posisi itu mereka seperti “outsider-within”, jadi mereka mengerti tentang kekristenan sehingga dapat “membimbing” orang-orang Islam yang datang untuk menyesuaikan diri. Upaya penyesuaian pendatang Islam dapat terlihat dengan “ungkapan protes” mereka terhadap asap sate babi yang dijual di pinggir jalan. Sedangkan “tuan rumah” dapat menyesuaikan dirinya dengan keberagaman agama akibat migrasi dengan cara menyerahkan jabatan “seksi konsumsi” acara-acara umum kepada orang-orang Islam.
- Di Depok, yang menjadi langganan 10 besar kota tertoleran di Indonesia menurut versi Setara Institute, kelompok mikro minoritas terutama Ahmadiyah masih mendapatkan tindakan diskriminasi. Misalnya mereka dilarang beraktivitas di masjid mereka sejak 2011 oleh pemerintah. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan butir “kontroversial” yang menyatakan kelompok minoritas sebagai biang masalah di RPJMD.
- Di Surabaya sempat terjadi permasalahan pendirian gereja GKI Citraland dan permasalahan perpanjangan perijinan masjid kelompok Ahmadiyah. Peran MUI sangat kuat di Surabaya.
- Di Denpasar, permasalahan antar agama justru tidak terjadi. Sebaliknya permasalahan yang terjadi adalah di antara komunitas-komunitas keagamaan di dalam Agama Hindu, yaitu antara penganut Hindu Bali dengan penganut Hindu transnasional yaitu Hare Krishna (International Society for Krishna Consciousness [ISKCON]).