Tuli dan Dunia Musik: Menikmati Tidak Harus Mendengar

Loading

written by Komunitas Tuli FeminisThemis

Gambar : Hasna Mufidah, Seniman Tuli yang bermusik (Sumber: Liputan6)

Untuk sebagian individu, mengakses dan menikmati musik bisa dengan proses dan cara yang mudah. Contohnya, dengan cara mendengar. Entah itu mendengarkan melalui platform pemutar musik, radio, atau bahkan lagu-lagu yang diputar di pasar swalayan maupun di pinggir jalan. Nah, bagi individu Tuli, banyak sekali miskonsepsi yang umum dibahas dan banyak yang berpikir bahwa individu Tuli sulit menikmati musik. Padahal, hanya caranya saja yang berbeda. Musik adalah bahasa yang universal bagi siapa saja. Baik individu dengar maupun Tuli, semua bisa menikmati musik.

Pada artikel kali ini, akan menjelaskan bagaimana cara individu Tuli menikmati musik serta menceritakan berbagai pengalaman individu Tuli dan cara mereka menikmati musik yang ada di sekitar mereka.

Musik terdiri atas suara-suara yang berasal dari berbagai getaran. Getaran inilah yang dirasakan Tuli untuk menikmati musik. Merasakan getaran yang merambat dari degupan dada, dinding, atau benda-benda sekitar dari suara musik, dengan getaran besar atau kecil, tempo berulang atau tak beraturan, melihat mimik wajah orang-orang sekitar yang mendengarkan musik, mengamati gerakan tubuh dan tarian mereka, ikut menari bersama dengan tempo getaran yang dirasakan, merupakan salah satu cara Tuli dalam menikmati musik. Tuli memiliki cara mereka sendiri untuk mengekspresikan musikalitas mereka (Morais de Paula & Martins Pederiva, 2017). Terlebih lagi saat Tuli ikut dalam pertunjukan musik.

Tuli lebih dapat menikmati musik dalam pertunjukan musik yang aksesibel. Ada beberapa unsur agar dapat membuat pertunjukkan musik yang aksesibel, seperti: tampilan lirik lagu langsung, juru bahasa isyarat (JBI), pengaturan pencahayaan, serta volume suara & getaran khusus. Tampilan lirik lagu yang ditampilkan mengikuti iringan lagu dan alunan musik secara langsung serta akses Juru Bahasa Isyarat (JBI) dengan konsep lagu bahasa isyarat yang berdiri di atas panggung menjadi komponen yang paling penting sehingga Tuli dapat menikmati musik dan ikut “bernyanyi” menggunakan Bahasa Isyarat.

Pengaturan pencahayaan lampu yang harus dilakukan dengan tepat agar JBI tetap terlihat di atas panggung dan suara irama musik dapat dirasakan melalui variasi getaran yang menggetarkan dada maupun sentuhan terhadap benda sekitar atau alat khusus yang bergetar. Mimik wajah, gerakan tubuh, dan gerakan isyarat musikalitas seiring dengan alunan lagu memberi visualisasi musikal kian sempurna untuk Tuli ikut merasakan emosi-emosi tak terucapkan dari sang penulis lagu. Hal ini dapat menciptakan pengalaman euforia musikalitas sesuai budaya Tuli.

Clara, seorang Tuli berat dengan desibel di bawah 100, telah mengenal musik sejak berumur 1 (satu) tahun ketika merasakan ketukan getaran suara gitar yang dimainkan oleh ayahnya. Clara merasakan alunan musik, membedakan ritme lagu, dan jenis instrumen yang dimainkan dengan cara menyandarkan punggungnya ke dinding atau menyentuh benda di sekitarnya. Setiap lirik lagu dari alunan musik yang bagus pasti akan menjadi lagu favoritnya. Clara pernah mengikuti konser musik dengan akses JBI namun dia merasa belum puas karena lampu panggung yang menyorot JBI secara khusus diatur kurang tepat sehingga JBI terlihat gelap dan tidak enak dilihat. Selain itu, lirik lagu dari musik seringkali tidak ditampilkan di layar secara langsung. Clara juga menyayangkan setiap acara musik tidak pernah melibatkan Tuli karena stigma bahwa Tuli tidak bisa menikmati musik.

“Aku berharap kedepannya acara musik dapat diberikan akses yang lebih baik, yaitu tersedianya JBI dan teks lirik lagu. Maka dari itu, Tuli dapat menikmati musik dengan budaya Tuli itu sendiri.” — Clara Vania P.

Gaby, seorang Hard of Hearing (HoH) pengguna alat bantu dengar dalam aktivitas sehari-harinya merupakan seorang modern dancer dan penyuka musik dengan genre K-pop dan hip hop. Ia telah mengenal musik dan tarian sejak kelas 5 SD serta mengikuti kursus tari semasa sekolah. Gaby mendengarkan musik sambil menari dengan cara menghafal setiap suara dalam lagu dan menghitung ketukan. Semasa SMK, Gaby sering mengisi berbagai acara dan mengikuti perlombaan modern dance bersama teman-teman Dengar dalam satu tim.

“Menyenangkan dan seru sekali”. Kalimat tersebut mewakili perasaan Gaby dalam setiap kesempatan tampil sebagai dancer bersama timnya. Ia juga sering mendengarkan musik kesukaannya di sela waktu luang.

Namun di balik semua kesenangannya, Gaby merasakan ketimpangan antara dirinya dan teman-teman dancer Dengar. Gaby kerap kali menerima peluang dan pengakuan lebih sedikit dibandingkan yang lain. Perspektif yang mengasumsikan bahwa musikalitas sarat dengan suara dan dinikmati melalui pendengaran, tidak berperspektif Tuli dan cakupan luas dari musikalitas itu sendiri–masih mengakar kuat. Perspektif sempit ini menghambat Tuli untuk menerima perlakuan yang setara dalam musikalitas dan merampas hak Tuli untuk berekspresi.

“Musik dan dance merupakan kesenangan bagi saya. Harapan saya, para dancer Tuli mendapat kesempatan yang sama dalam audisi, pelatihan, dan penampilan tarian mereka seperti orang Dengar.” — Gabriela N.

Kintan, seorang Tuli separo, yang sejak kecil sering menyaksikan pertunjukan tarian dan musik tradisional di asramanya. Dia diajarkan bermain berbagai tarian dan alat musik tradisional seperti angklung, gamelan, rebana, dan lainnya bersama teman Tuli lain. Sensasi getaran yang mengalir ke tangan saat bermain alat musik tersebut dan visual gerakan tangan pemusik Tuli lain, menciptakan suatu ikatan batin dan kenikmatan yang tidak dapat dijelaskan.

Saat Kintan latihan menari tradisional bersama gurunya, dia lebih nyaman tidak menggunakan alat bantu dengar untuk memanfaatkan sisa pendengarannya. Ia menari berdasarkan hafalan setiap gerakan tariannya sambil menghitung dan merasakan getaran musik membahana di lantai ruangan melalui kakinya. Kintan merasakan kenikmatan seolah terbang dari setiap ayunan gerakan tubuhnya dan getaran dari musik yang dirasakan selama menari.

“Musik bisa dinikmati oleh semua orang tanpa terkecuali dan dengan banyak cara. Itu keindahan dari musikalitas.” — Josephine Kintan

Pengalaman musik bukan hanya dirasakan oleh 3 (tiga) Tuli yang masih memiliki sisa pendengaran. Berikut pengalaman dari individu Tuli yang pendengarannya sudah Tuli total, Christianto Harsadi atau yang sering dipanggil Anto. Bagi Anto, musik terasa asing karena dia tidak pernah merasakan lantunan musik dan bunyi. Anto merasakan musik seperti ombak yang dihantam batu karang. Tidak mendengar, namun hanya bisa dirasakan. Anto bisa mengenal musik karena keluarga yang mengenalkan musik kepadanya melalui serial Teletubbies sejak kecil dan alat musik pianika sejak usia sekolah menengah pertama (SMP). Meskipun memiliki alat musik, Anto tidak memainkannya karena dia takut bahwa suara pianika yang dimainkannya akan bentrok dengan suara lain untuk iring-iringan lagu.

Hingga akhirnya ada momen yang tidak pernah dilupakan oleh Anto. Pernah ada masa Anto terpaksa harus bernyanyi karena harus mengikuti ujian musik. Belum penuh satu kalimat dari lagu yang dia nyanyikan, dia sudah dihentikan oleh gurunya di hadapan murid-murid kelas. Namun, hal tersebut tidak menghentikan Anto untuk menikmati musik. Pada akhirnya, Anto menemukan cara menikmati musik dengan budaya Tuli saat beranjak dewasa. Anto merasakan musik dengan getaran dan memahami konsep warna musik dengan dinamika getaran dari lagu yang dinyanyikan.

“Bagaikan Tuli melihat pelangi dengan caranya sendiri karena arah pelangi itu tidak selalu sama dengan arah yang dilihatnya. Itulah cara Tuli menikmati bahkan juga bisa memainkan musik.” — Christianto Harsadi

Selain pengalaman kawan Tuli di atas, pengalaman bermusik Tuli lainnya telah ada sejak lama di dunia. Di sepanjang sejarah, tercatat para pemusik Tuli tersohor seperti Beethoven, Ulrich, dan 10 pemusik Tuli lainnya yang telah menghasilkan berbagai lagu terkenal (AI Media, 2024). Selain itu, ada beberapa koreografer dan penari Tuli populer seperti La Singla, Kassandra Wedel, dan lainnya (Ferreiro, 2023). Teknologi masa kini pun semakin maju dan memperkaya pengalaman Tuli bermusik, seperti fitur musik haptik dan perangkat musik digital untuk Tuli. Musik haptik yaitu nada, tingkat kenyaringan, ritme, dan timbre yang dipetakan melalui getaran sentuhan.

Pengalaman teman Tuli membuktikan bahwa Tuli dapat menikmati musik. Menikmati musik tidak selalu dengan cara mendengar. Musik dapat dinikmati dengan sentuhan, visual, bahasa Isyarat, ekspresi gerakan tubuh, dan didukung akses tampilan lirik lagu maupun JBI. Berbagai spektrum Tuli memiliki pengalaman bermusik yang bervariasi. Oleh karena itu, melibatkan Tuli dalam mewujudkan pertunjukan musik yang aksesibel sangat penting sehingga dapat dinikmati oleh semua orang. Selain itu, peran masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang inklusif menjadi kunci penting bagi Tuli dalam mencapai kesetaraan dan inklusif serta mendapat kesempatan yang sama dalam bermusik. Siap untuk membuat festival musik yang inklusif untuk Tuli? Yuk, ciptakan festival musik yang aksesibel untuk seluruh disabilitas, termasuk Tuli!

**

Komunitas Tuli FeminisThemis merupakan sebuah komunitas yang berfokus di isu kesehatan seksual dan reproduksi, kesetaraan gender, serta aksesibilitas media Tuli

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content