Hukum Pekerja Migran Muslim Disuruh Memasak Babi Majikan

Loading

By Mohammad Soleh Shofier 3 Juni 2024

BincangSyariah.Com– Pekerja migran Muslim di berbagai negara kerap kali menghadapi situasi yang tidak mengenakkan, salah satunya adalah dipaksa memasak babi untuk majikan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan keyakinan mereka sebagai umat Islam yang diharamkan mengonsumsi babi. Lantas hukum pekerja migran Muslim disuruh memasak babi untuk majikan.

Terkait hukum memasak babi untuk majikan, pada dasarnya, Islam tidak melarang seorang muslim termasuk pekerja migran muslim untuk bermuamalah dengan non muslim. Bahkan sebagai tenaga kerja non muslim.

Namun demikian, mayoritas ulama memberikan batasan yang tak boleh dilanggar dalam kondisi normal. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, juz 1, halaman 290 disebutkan.

أما أن يكون الأجير مسلما والمستأجر ذميا فقد أجازه جمهور الفقهاء غير أنهم وضعوا معيارا خاصا هو أن يكون العمل الذي يؤجر نفسه للقيام به مما يجوز له أن يفعله لنفسه كالخياطة والبناء والحرث أما إذا كان لا يجوز له أن يعمله لنفسه كعصر الخمر ورعي الخنازير ونحو ذلك فإنه لا يجوز  

“Orang Islam yang bekerja kepada non muslim menurut mayoritas ulama diperbolehkan. Hanya saja para ulama menetapkan aturan-aturan tertentu yaitu pekerjaan yang halal, seperti menjahit, membangun, bertanam. Sehingga pekerjaannya yang menurutnya haram seperti memproduksi khamr, merawat babi, dan semisalnya, maka hukumnya tidak boleh.”.

Dengan redaksi di atas, maka imigran yang disuruh memasak babi itu hukumnya tidak boleh. Mengapa demikian? Karena pekerjaan tersebut dianggap membantu kemaksiatan. Yaitu memasak babi yang kemudian disuguhkan kepada orang-orang yang mengonsumsi babi. Larangan membantu kemaksiatan ini tersurat dalam Alquran sebagai berikut:

… وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ…

“Dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (QS. Al-Maidah [4]: 2).

Memasak Babi bagi Imigran Termasuk Menolong Kemaksiatan Bila Memenuhi 3 Unsur

Tetapi benarkah imigran yang disuruh memasak babi itu tergolong membantu kemaksiatan sehingga haram?

Menjawab pertanyaan tersebut amat menarik. Sebab, berkaitan dengan menolong maksiat sesungguhnya mesti memenuhi beberapa unsur agar dikatakan membantu maksiat secara hakiki.

Dalam kitab Buhuts Fi Qadaya Fiqhiyah Mu’ashira [360] dikatakan.

«ولوالدي العلامة المفتي ‌محمد ‌شفيع ‌رحمه الله تعالى في ذلك رسالة مستقلة جمع فيها النصوص الفقهية الواردة في مسألة الإعانة، ثم توصل إلى تنقيح الضابط فيها بما يلي: (إن الإعانة على المعصية حرام مطلقا بنص القرآن، أعني قوله تعالى: {ولا تعاونوا على الإثم والعدوان} [المائدة:2] . وقوله تعالى: {فلن أكون ظهيرا للمجرمين} [القصص:17] .ولكن الإعانة حقيقة هي ما قامت المعصية بعين فعل المعين، ولا يتحقق إلا بنية الإعانة أو التصريح بها، أو تعينها في استعمال هذا الشيء، بحيث لا يحتمل غير المعصية، وما لم تقم المعصية بعينه لم يكن من الإعانة حقيقة»

“Sesungguhnya menolong kemaksiatan adalah haram secara mutlak. Berdasarkan nas Alquran, yaitu firman Allah yang berbunyi ‘Dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan’ (QS. Al-Maidah: 2) dan firman Allah yang berbunyi ‘Aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa’ (QS. Al-Qashash: 17).

Akan tetapi pada hakikatnya dikatakan menolong maksiat, bila pertolongan itu memantik perbuatan maksiat. Dan hal tersebut tidak akan terealisasi kecuali (1) ada niatan menolong (kemaksiatan) (2) atau mengucapkannya secara langsung (3) atau membantu dalam menjalankan kemaksiatan itu sekiranya tidak mungkin diarahkan pada selain kemaksiatan. Bila perbuatan itu tidak memantik kemaksiatan maka tidak dikategorikan membantu maksuat”.

Dari pemaparan tersebut setidaknya harus ada satu dari tiga unsur sehingga suatu tindakan bisa dikategorikan membantu maksiat. Pertama, niat membantu maksiat. Kedua, menegaskan secara langsung. Ketiga, pekerjaan tersebut hanya mengarah kepada pertolongan dalam maksiat.

Dengan demikian, imigran muslim yang disuruh memasak babi itu jika memenuhi satu dari tiga hal di atas maka pekerjaannya termasuk membantu kemaksiatan. Artinya, diharamkan.

Sebaliknya, bila tidak ada tiga unsur di atas maka pekerjaan memasak babi itu tidak kategorikan membantu maksiat. Dan inilah yang potensial terjadi sebab pekerja imigran yang umumnya dari kalangan minoritas bukan berniat untuk membantu apalagi memfasilitasi non muslim untuk makan babi. Tetapi, semata-mata mencari nafkah yang secara sistem sulit menemukan yang jauh dari tudingan haram.

Memproduksi Khamar sebagai Perbandingan Hukum Memasak Babi

Di tambah, andai pekerja migran Muslim itu tidak memasak babi, maka non muslim tetap mengonsumsinya. Tegasnya, pekerjaan memasak babi yang dilakukan migran Muslim itu bukanlah pemantik dari kemaksiatan (non Muslim mengonsumsi babi) apa lagi memfasilitasinya.

Sebagai perbandingan, dalam kalangan Hanafiyah ditemukan kasus bila seorang muslim yang mendaftar kerja untuk menjadi takmir gereja maka tidak haram. Hal ini sebagaimana dalam kitab al-Muhīth al-Burhānī Fi Fiqhi al-Nu’mānī (5/326) karya Burhanuddin Abul Ma’ālī Mahmud bin Ahmad al-Bukhari al-Hanafī.

ولو آجر نفسه ليعمل في الكنيسة ويعمرها فلا بأس به؛ إذ ليس في نفس العمل معصية

“Seandainya muslim melamar kerja sebagai takmir masjid yang memakmurkan gereja maka tidak apa-apa. Karena perbuatan memakmurkan gereja itu sendiri tidak ada unsur maksiat”.

Selain itu, perbandingan lain yang lebih pas dan relevan yaitu ketika seorang muslim melamar pekerjaan pada non muslim untuk memproduksi minuman keras maka hukumnya makruh. Masih dalal kitab yang sama al-Muhīth al-Burhānī Fi Fiqhi al-Nu’mānī  (5/362) Burhanuddin Abul Ma’ālī Mahmud bin Ahmad al-Bukhari al-Hanafī menuturkan.

، وإذا آجر المسلم نفسه من ذمي ليعصر له فيتخذ خمراً فهو مكروه،

“Ketika seorang muslim melamar pekerjaan pada non muslim untuk memproduksi minuman keras maka hukumnya makruh”.

Mengikuti logika di atas ini, maka maksimal, imigran muslim yang memasak babi hukumnya makruh sebagaimana memproduksi minuman keras atau khamar. Perbandingan itu memiliki benang merah sama-sama perbuatan yang haram bila dikonsumsi sendiri. Atau bahkan tidak masalah secara konstitusi syariat sebagaimana orang yang bekerja di gereja.

Hukum Migran Memasak Babi itu Haram tapi Darurat dan Peran Negara

Tetapi demikian, seandainya masih berpegang teguh dengan batasan ulama terkait kebolehan muamalah muslim dengan non muslim yang pekerjaannya tidak boleh hal yang haram semisal babi dan khamar. Maka, pekerja migran yang disuruh memasak babi itu tidak serta merta dihukumi haram. Melainkan dirinci dengan mengemukakan duduk persoalannya.

Pertama, jika imigran muslim itu terpaksa dalam arti ia tidak memiliki pekerjaan selain memasak babi menimbang ia sebagai kaum minoritas di negeri rantau. Di sisi lain ia juga membutuhkan biaya hidup yang meliputi makan, minum, dan tempat tinggal, termasuk biaya keluarga di rumah. Maka dalam kondisi ini hukumnya boleh karena termasuk darurat.

Hal ini sebagaimana Alquran dan kaidah fikih berikut.

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ {البقرة: 173}.

“Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” (Qs. Al-Baqarah [2]: 173).

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات

Keadaan darurat membolehkan suatu yang hal-hal ya g dilarang”

Karena statusnya darurat, maka sang pekerja imigran hendaknya berusaha keluar dari kungkungan yang tidak sehat itu dan negara bertanggung jawab dalam menciptakan sistem pekerjaan yang layak bagi imigran. Selain itu, kedaruratan itu menurut al-Qur’an tidak boleh melampaui batas. Bahasa kaidah fikih harus diukur sesuai porsinya.

أن الضرورة تقدر بقدرها

“Sesungguhnya, hal-hal darurat diukur dengan porsinya”.

Kedua, baru dihukumi haram bila ia tidak darurat dalam arti ada pekerjaan lain yang layak dan bisa membiayai hidupnya yang sudah disediakan negara, atau dalam kondisi darurat hanya saja berlebihan.

Demikian penjelasan terkait hukum pekerja Migran Muslim disuruh memasak babi untuk Majikan. Semoga bermanfaat.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content