Pentingnya Toleransi dalam Bermazhab

Loading

By Mohammad Soleh Shofier 7 Juni 2024

Bincang Syariah.com – Toleransi santer disuarakan bahkan menjadi program resmi pemerintah Indonesia. Itu dalam tataran antar-agama; Islam, Budha, Hindu, Kristen dan lainnya. Tapi demikian, tak boleh lupa bahwa toleransi intra agama, toleransi dalam bermazhab  tak kalah pentingnya. Menimbang satu agama memiliki banyak aliran atau mazhab. 

Islam misalnya, setidaknya memiliki tiga cakupan mazhab secara garis umum yang bertolak dari dimensi ajarannya yaitu akidah, syariah, dan tasawuf. Masing-masing tiga ajaran Islam itu memiliki mazhab baik akidah, syariah, dan tasawuf.

Dalam fikih ada empat mazhab besar yang sejak dulu diakui yaitu Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah. Sekarang mulai berkembang menjadi 8 mazhab fikih yakni  Dzahiriyah, Ja’fariyah, Syi’ah Zaidiyah, dan Syi’ah Ibadiyah. 

Toleransi dalam Bermazhab

Tentu saja setiap mazhab memiliki pandangan yang tidak sama satu dengan yang lain. Sehingga muncul istilah ikhtilaf atau khilaf. Khilaf inilah yang berpotensi memantik konflik antar mazhab intra-agama layaknya sumbu yang siap melumat habis utuhnya umat. 

Ketidakmampuan untuk menerima perbedaan (khilaf) dan keragaman pendapat sebagai pegangan dalam berislam sering kali menjadi akar dari konflik sosio-keislaman, diskriminasi, dan ketidakadilan dalam segmen keagamaan. Perpecahan ini terjadi karena orang-orang cenderung mengisolasi diri dalam kenyamanan kelompok, atau mazhabnya, mereka sendiri.

Sebaliknya, jika seseorang terbuka terhadap keberagaman, memahami keadaannya, menerima kenyataannya, dan melepaskan batinnya dari perasaan suka maupun tidak suka, maka orang tersebut akan menuju jalan inklusif dalam berislam sebagaimana dicontohkan para pendiri imam Mazhab itu sendiri.

Sejak semula para pendiri mazhab itu wanti-wanti agar perbedaan tidak menjadi sumbu perpecahan di tengah umat, justru menjadi rahmat. Adalah Imam Malik secara praktik enggan untuk mempromosikan pendapatnya. Ketika kitabnya mendapatkan tawaran endorse dari pemerintah sah yang sangat berpeluang untuk menjadi mazhab resmi umat Islam seluruh penjuru dunia. 

Beliau dengan lantang berkata, “Jangan lakukan itu, Harun al-Rasyid. Orang Islam sudah banyak memiliki pendapat ahli hukum dan melimpah dengan sabda-sabda Nabi. Biarkan masyarakat muslim memilih pendapat yang mereka pilih untuk mereka sendiri.” (Shinā’at al-Iftā’, 76)

Agaknya alasan penolakan ini, selain kerendah hatiannya dan tidak mutlak-mutlak dengan produk-produk ijtihadnya, Imam Malik sejak awal ingin menanamkan sikap toleransi di kalangan umat Islam dalam memilih pendapat atau istilahnya bermazhab. Sehingga beliau  menandaskan. “Saya ini hanya manusia biasa. Bisa salah bisa benar. Analisislah pendapatku. Kalau memang sesuai dengan Alquran dan al-Sunnah, ambil. Kalau tidak sesuai,campakkan.” (al-Qaul al-Mufīd fi Adillatil Ijtihād wa al-Taqlīd, 42)

Sebelumnya, ulama beken yang dari Kufah Imam Abu Hanifah memberikan teladan yang sama untuk bersikap toleransi dalam bermazhab intra-agama Islam, khususnya fiqih. Beliau mengingatkan, “Bila pendapatku menyalahi Kitab Allah dan hadis Rasul saw., abaikan pendapatku.” (Īqādh al-Himam Ulī al-Abshār, 62). 

Selain ulama dua itu, mazhab Imam Syafi’i – yang banyak dianut di Nusantara – mengikuti jejak gurunya, Imam Malik. Suatu waktu, Imam Syafi’i menyampaikan, “Apabila kalian temukan dalam kitabku hal yang menyalahi sunnah Rasulullah saw., ambillah hadis itu dan abaikan pendapatku.” (al-Majmū‘ Syarh al-Muhadzdzab,Jilid 1, halaman 104)

Ketiga ulama yang konon sanad keilmuannya tersambung, memiliki persepsi yang sama. Alih-alih memasarkan pendapat, mereka justru mengingatkan kalau pendapat mereka mungkin salah. Sehingga dengan sikap begitu tidak sempat untuk menyalahkan pendapat orang lain atau mazhab lainnya. Dengan kata lain, timbul rasanya toleransi antar mazhab.

Masih tinggal satu ulama lagi, yakni dari Ahmad bin Hanbal, mengutarakan hal serupa secara lebih tegas lagi, dalam kalam negasi, “Jangan bertaklid kepadaku, jangan bertaklid kepada Malik, jangan pada al-Syafi’iy, tidak juga al-Auza’iy dan al-Tsauriy. Tapi, ambillah dari sumber tempat mereka mengambil.” (I’lām al-Muwaqqi‘īn, 2/139)

Bagi Imam Ahmad, semua pendapat mereka sama saja. Tidak perlu dielu-elukan mana yang lebih kuat. Yang perlu adalah mendorong santri atau jamaahnya dapat memutuskan pendapatnya sendiri berdasarkan sumbernya langsung, Al-Qur’an dan al-Sunnah; atau membandingkan pendapat-pendapat mereka berdasarkan dalil dan nalar yang otoritatif. “Pendapat al-Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah, semuanya hanyalah pendapat. Bagiku sama saja, yang benar-benar hujjah cuma atsar (tradisi Nabi saw dan sahabat).” (Īqādh al-Himam, 21)

Tentu, semua kutipan di atas tidak berarti justifikasi bagi gerakan anti mazhab, sebagaimana tidak jarang disalahpahami demikian – bahkan hanya ingin kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Pernyataan-pernyataan Imam Mazhab itu merupakan penampakan dari keluhuran budi, kerendahhatian, dan sekaligus kehati-hatian.

Betapa pun mereka yakin dengan ijtihad mereka, dengan kebenaran pendapatnya, mereka tetap mawas diri dan menyarankan orang lain supaya mampu secara mandiri membuat pilihan sendiri berdasarkan teks suci.

Menurut penulis, pesan Imam Mazhab di atas berpusat pada dua hal. Pertama, kerendahhatian dan kehati-hatian mereka. Ini adalah pesan tersiratnya. Kedua, hendaknya setiap orang berupaya menentukan pilihannya sendiri, berdasarkan kemampuan akalnya memahami wahyu. Bila tidak, maka mengikuti mazhab yang ia yakini tanpa menyalah-nyalahkan mazhab lainnya. Inilah sikap toleransi dalam bermazhab.

Sederet fakta sejarah itu menunjukkan urgensinya toleransi dalam mazhab yang mana imam-imam besar menjadi garda terdepan. Maka, semestinya kita teladani. Dengan kata lain, secara konseptual toleransi dalam bermazhab sudah mapan dan kokoh ditanamkan para imam Mazhab itu sendiri. Sayangnya, sekarang, tak sedikit kita jumpai dalam praktis atau amaliyah khilafnya antar mazhab fikih menjadi bumerang yang mengancam persatuan dan keharmonisan.

Terakhir, untuk menumbuhkan nilai toleransi maka pentingnya mengubah mindset kita terhadap khilaf itu sendiri dari pendapat-pendapat berbagai mazhab. Sebagai tawaran dalam hal ini, sangat relevan berpatokan kepada teori yang sempat diajukan Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam kitab al-Mizan al-Kubra al-Sya’raniyah.

Pertama, memiliki cara pandang bahwa imam-imam atau setiap mazhab itu telah diberikan hidayah oleh Tuhan. Atau setidaknya, telah dikehendaki adanya berbagai mazhab. Di antara hikmahnya supaya menjadi pilihan umat dalam menjalani keagamaannya, atau boleh jadi menjadi ujian Tuhan agar kita sabar dan bersikap toleran.

Kedua, dalam menyikapi perselisihannya maka menggunakan teori multi dimensi dengan timbangan antara al-Tasdid (memberatkan) dan al-Takhfif (meringankan). Yaitu semua pendapat yang beda-beda yang dikemukakan para pentolan mazhab itu ditimbang melalui kemaslahatan  situasi dan kondisi, dan mengahargai pendapat lainnya tanpa memvonis salah.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content