Perspektif Perempuan Penghayat Promblematika Stigma Terhadap Konsep Diri Perempuan

Loading

Oleh : Nanda Shelly Susanti

Stigma terhadap perempuan telah terjadi dalam kurun waktu yang sangat panjang. Membutuhkan waktu, tenaga, dan perjuangan yang tidak sedikit bagi perempuan untuk kemudian mendapatkan posisi yang setara dengan laki-laki.

Selama ini, stigma yang melekat pada perempuan menjadi penyebab munculnya diskriminasi terhadap perempuan. Begitu pun stigma yang melekat pada perempuan penghayat. Selain karena adanya stigma bahwa perempuan itu identik dengan pekerjaan domestik atau mengurus rumah tangga, kerap kali perempuan penghayat juga mendapat stigma tambahan atas dasar keyakinannya yang menganut ajaran Kepercayaan.

Stigma yang sering dilontarkan kepada perempuan penganut ajaran Kepercayaan diantaranya yaitu sesat, klenik, animisme, dinamisme, dan masih banyak lagi. Sehingga tak lepas dengan adanya fakta bahwa perempuan penghayat menjadi minoritas dalam konteks gender, perempuan penghayat pun juga menjadi minoritas dalam konteks keyakinan.

Bagaimana stigma sosial terhadap perempuan berpengaruh terhadap konsep diri menurut perempuan penghayat?

Stigma dan Dampaknya Terhadap Perempuan Penghayat

Setiap perempuan sudah sepatutnya mempunyai hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki, baik dalam berpikir, berpendapat, maupun bertindak. Hal tersebut sangat jelas menyangkut dengan konsep diri yang harus diyakini oleh seorang perempuan. Namun, kadangkala konsep tersebut justru tidak sesuai dengan yang terjadi dalam kondisi kehidupan yang sebenarnya. Seorang perempuan dan penghayat yang telah terstigma, justru mengalami kondisi double burden seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di mana kondisi tersebut membatasi diri seorang perempuan penghayat.

Perempuan mempunyai hak untuk bermimpi, tapi belum tentu dia yakin bahwa dia bisa bermimpi. Perempuan mempunyai hak untuk berpendapat, tapi belum tentu ia berkenan untuk menyuarakan pendapatnya. Perempuan mempunyai hak untuk bertindak dan berperan sebagai pemimpin, tapi belum tentu dia berani mengambil kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin. Belum lagi dengan adanya stigma yang berbasis keyakinan, yang pada akhirnya  selalu menambah kekhawatiran dalam diri seorang perempuan penghayat. Kekhawatiran yang dialami oleh perempuan penghayat menimbulkan ketakukan dan kemudian menimbulkan keengganan. Sehingga, akibat dari stigma terhadap perempuan dan penghayat, perempuan penghayat seringkali memilih untuk membatasi dirinya sendiri. Padahal, sejatinya perempuan penghayat dapat menyuarakan aspirasinya selaku bagian dari masyarakat, sama halnya dengan perempuan dari agama lain. Perempuan dapat mengembangkan dirinya menjadi lebih baik dan setara dengan laki-laki apabila dia telah memahami bahwa konsep diri yang ia yakini merupakan kunci dari sebuah perubahan. Konsep diri yang lebih positif itulah yang perlu ditanamkan dalam diri setiap perempuan, termasuk perempuan penghayat, agar perempuan dapat menumbuhkan rasa kepercayaan dirinya, bahwa menjadi perempuan bukan berarti selalu berada di posisi yang terbelakang.

“Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI”

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content