Shalat Tarawih Dua Imam: “Ngemong” Perbedaan ala Masjid Agung Surakarta

Loading

Oleh: Iis Masruroh

Masjid Agung Surakarta, atau dulu dikenal sebagai Masjid Ageng Keraton Hadiningrat, adalah sebuah peninggalan bersejarah di Solo, Jawa Tengah. Masjid tersebut dibangun pada tahun 1749 M oleh Sultan Pakubuwono III. Masjid ini pada masa pra-kemerdekaan merupakan pusat kegiatan keagamaan serta syiar Islam.

Setiap tahun, berbagai upacara adat dan kegiatan keagamaan, seperti grebeg, kebo bule, sekaten, dan maulid Nabi diadakan di masjid ini. Masjid Agung Surakarta juga menjadi tempat pelaksanaan shalat berjamaah dengan kapasitas besar, termasuk shalat Jumat, Shalat Idul Fitri, Shalat Idul Adha, dan Shalat Tarawih.

Salah satu hal unik yang membedakan Masjid Agung Surakarta adalah tradisi pelaksanaan shalat tarawih. Masjid ini menggabungkan tradisi dua komunitas muslim di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), yang memiliki perbedaan dalam jumlah rakaat tarawih. Muhammadiyah melaksanakan 8 rakaat tarawih, sementara NU melaksanakan 20 rakaat tarawih.

Masjid Agung Surakarta mengatasi perbedaan ini dengan memfasilitasi pelaksanaan shalat tarawih dua imam. Pada awalnya, keraton menggelar shalat tarawih 20 rakaat dengan 3 rakaat sunah witir. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah rakaat mengalami pergeseran menjadi 8. Hal ini menimbulkan perdebatan, sehingga sebagai solusi, masjid memfasilitasi pelaksanaan shalat tarawih bagi kedua aliran tersebut.

Tradisi shalat tarawih dua imam ini dimulai sejak tahun 1980-an dan masih berlanjut hingga hari ini. Melansir BBC News Indonesia, Mohammad Muhtarom yang merupakan ketua Takmir Masjid Agung Surakarta, menyampaikan, praktek shalat tarawih yang menggabungkan dua tradisi itu dapat dijadikan contoh bagi masyarakat untuk terbiasa melihat perbedaan“.

Dalam pelaksanaannya, saat adzan berkumandang, seluruh jamaah berkumpul bersama-sama. Imam pertama memimpin shalat Isya’ dan tarawih. Setelah mencapai rakaat ke-8, imam kedua bertugas menyelesaikan shalat sunah witir 3 rakaat bagi jamaah yang mengikuti tradisi Muhammadiyah dengan 11 rakaat tarawih. Bagi jamaah yang melaksanakan tarawih 23 rakaat, mereka menunggu imam pertama untuk melanjutkan shalat tarawihnya. Namun, setelah selesai, semua jamaah kembali berkumpul menjadi satu untuk melakukan tadarus Quran bersama.

Tradisi shalat tarawih dua imam di Masjid Agung Surakarta mencerminkan semangat menghargai perbedaan dan memperkuat toleransi di antara komunitas Muslim Muhammadiyah dan NU. Hal ini sejalan dengan pesan yang diungkapkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, dalam pidatonya di American University pada tahun 1963, Jika kita tidak bisa mengakhiri perbedaan kita sekarang, setidaknya kita bisa membantu menjadikan dunia aman bagi keberagaman yang sangat relevan dengan situasi Ramadhan di Masjid Agung Surakarta. Masjid Agung Surakarta bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga menjadi simbol perdamaian, harmoni, dan inklusivitas di tengah masyarakat. Dengan menggelar shalat tarawih dua imam, masjid ini memberikan contoh nyata tentang pentingnya menghargai keberagaman dan menciptakan lingkungan yang inklusif dalam praktik keagamaan. Tradisi ini mengajarkan kita bahwa perbedaan dapat menjadi kekuatan yang mengikat umat Muslim dalam persatuan.

“Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI”

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content