Oleh: Rosa Adinda Putri
Berapa jam dalam sehari kita menyalakan kipas angin atau AC? Sepanjang hari? Rasanya bumi yang kita tempati saat ini begitu panas, seakan mendidih di bawah langit yang tak lagi bersahabat. Ketika suhu di sekitar kita membuat kita bergantung pada perangkat pendingin untuk merasa nyaman, kita mungkin tidak menyadari bahwa rasa panas ini hanyalah cerminan dari masalah yang jauh lebih besar.
Panas ekstrem yang kita rasakan di tingkat lokal merupakan bagian dari fenomena global yang lebih luas. Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada kenyamanan sehari-hari, tetapi juga mengancam kehidupan di seluruh dunia. Di India dan Meksiko, misalnya, suhu ekstrem telah mengakibatkan korban jiwa. Menurut laporan climate.gov, “Juni 2024 adalah Juni terhangat yang pernah tercatat di dunia dalam catatan NOAA selama 175 tahun.” Peningkatan suhu ini menggambarkan dampak nyata dari perubahan iklim yang sedang kita hadapi.
Fenomena global ini tidak muncul secara tiba-tiba; ia adalah hasil dari aktivitas manusia yang terus-menerus mengubah keseimbangan atmosfer. Gas rumah kaca yang kita hasilkan—dari penebangan hutan hingga emisi dari kendaraan dan pembakaran bahan bakar fosil—telah menciptakan lapisan yang memerangkap panas dan memperburuk pemanasan global. PBB Indonesia mencatat, “1% orang terkaya di dunia menyumbang lebih banyak emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan 50% orang termiskin.” Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan sosial dan lingkungan saling terkait dalam krisis yang kita hadapi saat ini.
Seruan Agama untuk Bumi
Perubahan iklim kini menjadi panggilan darurat. Muncul narasi-narasi, gerakan-gerakan, dan tokoh-tokoh yang menyuarakan krisis ini. Dari pemerintahan hingga akademisi, dari organisasi nirlaba hingga pelaku bisnis, semua berusaha mencari solusi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 86 tahun 2023, yang mengharamkan segala bentuk kerusakan alam, deforestasi, dan pembakaran hutan.
Seruan untuk menjaga lingkungan tak hanya bergema dalam Islam, tetapi juga dalam agama-agama lain. Bumi dilihat sebagai makrokosmos, dengan manusia, hewan, dan tumbuhan sebagai mikrokosmos yang saling melengkapi. Filosofi Timur meyakini, “Batu adalah tulang. Air adalah darah. Tanah adalah daging. Hutan adalah urat nadi. Bumi adalah tubuh manusia.”
Yusuf Al-Qaradhawi menekankan pentingnya kesadaran manusia akan posisinya di alam. Kesadaran itu melahirkan moralitas untuk berbuat baik, bukan hanya kepada sesama, tetapi juga kepada alam. Dalam tasawuf, alam adalah ayat-ayat Allah, dan manusia wajib menjaga karunia ini dengan baik. “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik” (QS Al-A’raf: 85). Dalam Islam, tidak berbuat kerusakan adalah kewajiban seorang khalifah, penjaga bumi, seperti diingatkan dalam Al-Baqarah ayat 30.
Agama Buddha juga menekankan pentingnya menjaga alam. Vanaropa Sutta menyatakan, “Menjaga hutan, taman, atau perkebunan, membangun jembatan, tempat minum, dan sumur, dan mereka yang memberikan tempat tinggal. Jasa mereka selalu tumbuh siang dan malam.” Buddha sendiri menunjukkan rasa terima kasihnya pada pohon Bodhi yang menaunginya pasca pencerahan.
Dalam Katolik, Paus mengeluarkan Ensiklik LAUDATO SI’ tentang perawatan rumah kita bersama. Paus menekankan hubungan yang sehat dengan dunia ciptaan sebagai bagian dari pertobatan manusia yang utuh. Para uskup Australia juga berbicara tentang pentingnya pertobatan ini untuk mencapai rekonsiliasi dengan dunia ciptaan.
Namun, minimnya edukasi tentang sudut pandang agama dalam persoalan lingkungan membuat masalah ini jarang tersorot. Banyak yang berpikir bahwa permasalahan lingkungan tidak memiliki korelasi dengan agama. Padahal, perubahan iklim disebabkan oleh gaya hidup manusia yang tidak sesuai dengan keseimbangan alam dan spiritualitas. Jika setiap pemeluk agama menjalankan perintah untuk tidak merusak, kita akan menjadi pemelihara yang baik. Fakta ini menyakitkan, mengetahui bahwa bumi kita tidak baik-baik saja. Namun, kita tidak bisa hanya terdiam menyaksikan bumi menderita. Setiap orang bertanggung jawab pada dirinya, masyarakat, dan alam. Perubahan iklim menjadi pengingat bahwa kita lalai menjaga alam. Upaya kita saat ini adalah memupuk spiritualitas guna menjadi hamba yang utuh, yang memiliki hubungan baik dengan Tuhan dan alam sebagai ciptaan-Nya.
“Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI”