Menyuarakan Keadilan untuk Perempuan: Refleksi dari Dunia Pendidikan

Loading

Oleh : Handika Praba Ningrum

Ketua yayasan di sebuah sekolah berbasis pesantren pernah berkata, “Perempuan itu banyak mudharatnya.” Pernyataan ini menimbulkan kesedihan yang mendalam dalam diri saya, seolah menggali rasa keprihatinan pada dunia yang kita huni.

Di sekolah itu juga saya mendapati seorang siswi mengeluh bahwa dia tidak diizinkan untuk bergabung dengan pasukan pengibar bendera (Paskibra) di Kecamatan. Sebenarnya, saya merasa itu adalah langkah pertama baginya menuju impian yang telah lama diidamkannya. Tetapi, dengan keputusan sekolah seperti itu malang sekali nasib seorang siswi ini. Baru saja melangkah, impiannya sudah dipatahkan.

Beberapa waktu kemudian, tepatnya pada bulan Juni-Juli 2024, empat siswa dari sekolah tersebut—dua laki-laki dan dua perempuan—berhasil lolos seleksi calon Paskibra Kecamatan. Namun, kedua siswi tersebut tidak diizinkan ikut. Alasan yang diberikan cukup mengejutkan dimana “perempuan itu banyak mudharatnya.”

Saya terhenyak, bertanya-tanya mengapa masih ada orang yang membatasi gerak perempuan. Saya kira orang-orang seperti itu hanya ada di masa sebelum Nabi lahir. Telah berabad-abad lamanya Islam mengajarkan kita tentang keadilan dan kemanusiaan, mengapa kita masih berpura-pura tidak tahu? Apakah kebodohan ini disengaja atau memang sudah mendarah daging?

Padahal lebih dari seratus tahun lalu, Kartini membicarakan hak-hak perempuan. Usahanya jauh dari mudharat, malah membawa banyak manfaat. Kini, perempuan Indonesia bisa bersekolah, memimpin, berbisnis, berkolaborasi, berceramah, dan aktif di ranah publik—hal yang dulu tak terbayangkan. Apakah mereka yang merongrong kebebasan perempuan itu buta terhadap sejarah atau memilih untuk tidak peduli?

Alasan lain yang cukup ironis dimana mereka menilai bahwa kegiatan Paskibra itu “memperlihatkan aurat.” Astaghfirullah, apakah siswa/siswi yang mengibarkan bendera di istana negara itu berdosa? Bukankah seragam mereka memakai kaos kaki hingga lutut dan sarung tangan? Kurang menutup aurat bagaimana lagi?.

Tiap penyelenggaraan kemerdekaan tanggal 17 Agustus, saat bendera merah putih dikibarkan, saya terharu, membayangkan perasaan orang tua mereka. Bukan aurat yang saya pikirkan, melainkan kebanggaan dan harapan yang tergambar di wajah mereka.

Jika tafsir-tafsir patrialkal ini terus diamini, lantas bagaimana dengan Siti Khadijah, istri Nabi, seorang pengusaha sukses pada zamannya? Tidak mungkin beliau berniaga hanya di rumah. Beliau pasti aktif di ruang publik, bertemu banyak orang, dan berbicara tentang perdagangan. Dan lihatlah Cut Nyak Dien, pahlawan perempuan Indonesia yang ikut berperang melawan penjajah. Sungguh, perjuangannya tak mungkin muncul sekedar berdiam diri di dalam rumah. Sudah pasti keberanian beliau itu dibentuk dalam gejolak dunia luar.

Ketidakadilan di sekolah ini pun semakin bertambah. Selain mendapat kecaman atas impiannya tersebut, mereka juga mendapat ancaman dikeluarkan dari sekolah jika bersikeras untuk mengikuti Paskibra. Baru-baru ini, salah satu siswi mengirimkan pesan kepada saya dengan nada kesal dan cemas. Dalam pesan itu ia mengatakan “’Bu, kalau aku tetap ingin ikut, mereka mengancam akan mengeluarkan aku dari pesantren dan sekolah.”

Saya menarik napas panjang membaca pesannya tersebut . Jadi untuk apa semua workshop, technical meeting, dan rapat yang membahas kurikulum merdeka, jika kenyataannya impian para siswi ini sendiri jauh dari kata merdeka?”

Moderasi Islam dan Keadilan Gender

Sebagai kaum terdidik yang mendidik generasi penerus, kita seharusnya lebih bijak dan adil dalam membuat keputusan. Larangan yang tidak masuk akal ini akan berdampak buruk bagi siswa/siswi ke depannya. Permasalahan ini tidak hanya sekedar peristiwa partikular soal seleksi Paskibra, tapi tentang berpikir kritis, mengambil keputusan, keadilan, dan cara beragama. Watak asli agama adalah moderat, yaitu adil dan berimbang. Umatlah yang membuatnya berlebihan atau sebaliknya.

Islam mengajarkan kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan. Semua manusia adalah khalifah fil ardh yang mengemban amanah untuk menjadi pemimpin dan mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi. Karenanya, aturan yang membatasi potensi perempuan untuk berpendidikan, berpengalaman, dan berkembang adalah tidak Islami.

Perempuan juga manusia, sama seperti laki-laki, yang mempunyai potensi dan kesempatan yang sama untuk meraih cita-citanya. Jangan sampai pemahaman kita yang tidak moderat dan keegoisan kita sebagai tenaga pendidik menghambat generasi penerus untuk maju. Jangan sampai pemahaman kita yang tidak moderat melahirkan generasi dengan paham fanatisme buta hingga menimbulkan ekstremisme yang dapat memecah belah bangsa.

Paham Islam yang moderat adalah ikhtiar kita untuk mewujudkan Islam yang menjunjung tinggi keadilan dan ramah perempuan. Begitu juga dengan tujuan pendidikan kita yaitu memperluas akses pendidikan bermutu bagi peserta didik yang berkeadilan dan inklusif. Sudah sangat Islami, bukan?

Berkeadilan berarti memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam hal akses dan partisipasi. Inklusif berarti melibatkan semua orang dari berbagai kelompok tanpa meninggalkan salah satunya. Ini berarti kita sebagai pendidik harus memberi akses kepada semua siswa untuk berpartisipasi tanpa mendiskriminasi, dan melibatkan semua siswa untuk ikut mewujudkan pendidikan yang berkesetaraan tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, serta keyakinan.

Saya berharap tidak ada lagi tenaga pendidik yang bertindak egois hanya karena merasa berkuasa. Mari kita bijak dalam membuat dan mengambil keputusan. Jika lembaga pendidikan ingin menyelenggarakan sekolah dan pesantren, maka sistem pendidikan dan kurikulumnya harus seimbang, menggabungkan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Pemerintah juga sebaiknya segera memasukkan pelajaran moderasi beragama dan kesetaraan gender ke dalam kurikulum. Dengan demikian, kita bisa membentuk generasi yang berpikir adil, bijak, dan toleran, sesuai nilai-nilai luhur Pancasila. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

“Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI”

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content