PEREMPUAN DIBAWAH UMUR BERTAHUN-TAHUN BUNGKAM BERSUARA TERHADAP PERLAKUAN SEKSUAL OLEH PENDIDIKNYA

Loading

Oleh: Wulany

Adakah yang lebih ironi daripada seorang pendidik yang seharusnya menjadi teladan malah menjadi pelaku pelecehan? Dalam dunia yang seharusnya penuh dengan ilmu dan moralitas, tersembunyi kisah-kisah kelam yang kerap kali tak tersampaikan. Seorang pendidik, figur yang dianggap sebagai pilar pengetahuan dan etika, bisa menyalahgunakan posisinya dengan cara yang sangat menyakitkan. Pelecehan seksual di dunia pendidikan bukanlah cerita baru, tetapi tetap menjadi luka lama yang terus membekas.

Di tengah hiruk-pikuk angka dan statistik, suara korban sering tenggelam. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023 mencatat 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka ini, meski tinggi, hanyalah puncak dari gunung es yang lebih besar. Setiap angka menyimpan kisah, setiap statistik adalah kehidupan yang terguncang. Di balik data tersebut, ada cerita tentang keheningan yang dipaksakan, tentang ketakutan yang mencekam, dan tentang harapan yang perlahan memudar.

“Saya adalah korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh pendidik saya sendiri. Pada saat itu, saya masih di bawah umur dan berpikir bahwa perlakuan tersebut adalah bagian dari metode pendidikannya. Jadi, saya bungkam dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. Kini, setelah lebih dari 15 tahun, saya menyadari bahwa perlakuan itu sama sekali tidak bisa dianggap wajar,” ungkap R, kini berusia 23 tahun.

Pengakuan dari R adalah sebuah pengingat akan betapa rapuhnya perlindungan terhadap anak-anak dalam lingkungan pendidikan. Ia adalah salah satu dari banyak suara yang terbungkam, yang akhirnya menemukan kekuatan untuk berbicara. Pada masa kecilnya, R tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban manipulasi. Pemikiran bahwa pelecehan tersebut adalah bagian dari proses belajar mengajar menunjukkan betapa mudahnya seorang anak menjadi korban doktrin yang memanfaatkan ketidaktahuan dan keterbatasan wawasan mereka.

Masa kecil yang seharusnya dipenuhi dengan rasa ingin tahu dan kegembiraan belajar, ternodai oleh pengalaman pahit. “Dulu, saya diam karena ketidaktahuan. Sekarang, saya merasa malu jika berbicara. Namun, saya ingin agar para korban di luar sana, baik yang mengalami di tempat yang sama maupun di tempat lain, memberanikan diri untuk menyuarakan ketidaknormalan ini,” tambahnya. Pengakuan R adalah gambaran betapa dalamnya luka yang ditinggalkan oleh pelecehan dan betapa beratnya beban yang harus ditanggung korban dalam mengungkap kebenaran.

Temuan West Coast LEAF di Vancouver mengungkapkan kenyataan pahit bahwa banyak korban kekerasan seksual enggan melapor. Kekhawatiran tentang perlindungan identitas, dampak pada kesehatan mental, dan kondisi finansial membuat mereka memilih diam. Stigma negatif yang melekat pada korban, khususnya perempuan, melahirkan sikap menyalahkan korban, baik dari masyarakat maupun aparat penegak hukum. Akibatnya, korban merasa tidak memiliki tempat yang aman untuk mengakses keadilan. Mereka terjebak dalam lingkaran ketakutan dan kesepian, mencari perlindungan dalam keheningan yang menyakitkan. Padahal, setiap korban seharusnya mendapatkan dukungan penuh dari lingkungannya, tanpa kecuali.

Berani Bicara: Dukung Korban Sepenuhnya

Kisah R adalah cermin dari realitas yang lebih besar. Pelecehan seksual di dunia pendidikan adalah mimpi buruk yang terus menghantui banyak orang. Langkah pertama yang harus diambil adalah meminta pelaku berhenti, menceritakan pengalaman kepada orang terdekat, dan melaporkan ke pihak berwenang.

Namun, mengungkapkan pengalaman pahit ini bukanlah hal yang mudah bagi para korban. Ketakutan akan reaksi negatif, stigma yang melekat, dan kekhawatiran tentang perlindungan identitas seringkali membuat mereka memilih untuk bungkam. Oleh karena itu, penting untuk memahami langkah-langkah yang dapat diambil untuk memastikan keamanan dan keadilan bagi korban.

 Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, menyarankan agar korban atau pendamping, keluarga, komunitas, atau pihak yang mengetahui tindak kekerasan segera melaporkannya ke polisi, perangkat desa (RT/RW) setempat, atau pengada layanan seperti yang disediakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). Mengadu ke lembaga-lembaga tersebut dan melaporkan kepada pihak kepolisian adalah langkah penting untuk mengurangi dampak yang lebih parah pada diri sendiri. Pelaku perlu tahu bahwa perbuatannya salah dan harus menerima konsekuensi agar tidak mengulangi lagi dan menjadi contoh bagi yang lain.

Pelecehan seksual adalah masalah yang kompleks, melibatkan dinamika kekuasaan, manipulasi, dan ketidaksetaraan gender. Mengatasi masalah ini memerlukan pendekatan yang komprehensif, mulai dari edukasi hingga penegakan hukum yang tegas. Edukasi yang benar tentang hak-hak individu, terutama di kalangan anak-anak dan remaja, adalah langkah awal yang penting. Penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu adalah kunci untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Inilah beberapa langkah yang harus diambil apabila Anda mengalami kekerasan seksual. Jangan pernah takut untuk mengungkapkan permasalahan yang Anda hadapi. Setiap suara yang berbicara adalah langkah menuju perubahan, setiap cerita yang diungkap adalah upaya untuk menghapus stigma dan memberikan keadilan.

“Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI”

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content