Oleh: Raka Sudrajat
Ketika pertama kali saya tiba di acara Youth Interfaith Camp (YIC) yang diselenggarakan oleh JISRA dan Fatayat, saya diselimuti perasaan cemas dan ketidakpastian. Langkah-langkah saya terasa berat, seolah-olah setiap langkah mendekatkan saya pada jurang prasangka dan kecemasan yang tak terelakkan. Dalam bayangan saya, pertemuan dengan individu-individu dari beragam lintas agama adalah perjumpaan dengan ketidakpastian yang penuh risiko.
Namun, segala prasangka itu mulai memudar seiring berjalannya acara. Dalam sesi perkenalan yang sederhana, diikuti dengan diskusi keagamaan yang hangat, saya menemukan sesuatu yang jauh berbeda dari yang saya bayangkan. Cara mereka merangkul satu sama lain, menerima perbedaan dengan pikiran terbuka, benar-benar mengubah perspektif saya. Prasangka negatif yang semula membayangi pikiran saya perlahan terkikis, bahkan anehnya justru digantikan oleh pandangan yang lebih positif dan penuh harapan.
Ada satu momen yang sangat menggetarkan hati saya. Saat itu, setiap peserta diminta untuk menceritakan pengalaman pribadi mereka. Dari kisah-kisah yang muncul, tersingkaplah kenyataan pahit bahwa diskriminasi tidak hanya dialami oleh minoritas, tetapi juga oleh mayoritas. Diskriminasi, saya sadari, bukan semata masalah jumlah, tetapi masalah pemikiran yang tertutup dan keengganan untuk memahami orang lain. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa keterbukaan dan rasa ingin tahu adalah fondasi penting untuk meruntuhkan tembok-tembok prasangka yang menghalangi keharmonisan.
Sesi spiritualisasi agama menjadi puncak dari pengalaman saya di YIC. Setiap orang dengan keragaman agamanya yang berbeda diberi kesempatan untuk berbagi cara mereka beribadah. Ketika tiba giliran saya, saya dengan hati-hati menjelaskan cara beribadah yang saya anut. Tanggapan teman-teman begitu positif, menghapus segala kecemasan yang sebelumnya menghantui pikiran saya. Dari sesi ini saya menyadari bahwa sikap terbuka ternyata tidak semenakutkan itu. Respon mereka menegaskan bahwa harmonisasi adalah sesuatu yang bisa kita raih jika kita membuka diri dan menerima perbedaan dengan hati yang lapang.
Pengalaman di YIC telah memberikan dampak besar dalam kehidupan saya. Di sana, saya merasakan makna sejati dari keharmonisan. Bukan hanya dalam lingkup keluarga, tetapi juga dalam interaksi antarumat beragama. Harapan baru tumbuh dalam diri saya, harapan akan dunia yang lebih harmonis di mana perbedaan bukanlah penghalang, melainkan jembatan untuk saling memahami. YIC mengajarkan saya bahwa keterbukaan dan pemahaman adalah kunci untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan penuh toleransi. Kegiatan ini adalah refleksi dari harapan saya akan masa depan yang lebih baik. Di mana setiap perbedaan bukanlah jurang yang memisahkan, melainkan jembatan yang menghubungkan kita semua dalam harmoni yang sejati.
“Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI”