Oleh: Diana Debi Timoria, SOPAN Sumba
Tahun 2023, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan melalui catatan tahunannya melaporkan ada 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Angka ini merupakan kasus yang terlaporkan, masih banyak kasus yang ‘tersembunyi’ dan tidak terdokumentasi.
Masih banyaknya kasus yang tidak tercatat di antaranya karena pelanggengan dari budaya. Seperti yang terjadi di Pulau Sumba yang berada di timur Indonesia. Sumba adalah tempat yang indah. Pantainya berpasir putih dengan lautan yang biru, air terjun yang unik dengan aliran air yang hijau, jejeran bukit yang indah, tenunan yang sarat makna, ritual yang sakral dan masih banyak lainnya.
Di balik keelokannya, Sumba menyimpan banyak cerita kekerasan terhadap perempuan. Misalnya, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, perdagangan manusia dan kekerasan berbasis budaya yang sudah berlangsung lama dan masih terjadi hingga saat ini. Beberapa kasus dilaporkan dan tercatat, beberapa lainnya tertutup dan hilang.
Langgengnya kekerasan di Sumba di antaranya dibenarkan dengan alasan tradisi. Salah satu contohnya adalah kawin tangkap. Tradisi kawin tangkap adalah bentuk perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan adat. Setiap terjadi kasus kawin tangkap, ada banyak perdebatan yang terjadi. Ada yang membenarkan dengan alasan bahwa praktik tersebut merupakan bagian dari budaya, ada yang menyalahkan dengan alasan hal tersebut adalah kekerasan terhadap perempuan. Dalam beberapa kasus, korbannya adalah laki-laki.
Perlu adanya rekonstruksi budaya, sehingga tidak lagi terjadi praktik kekerasan yang ditoleransi dan dibenarkan atas nama apapun. Menjadikan perempuan sebagai objek kekerasan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, serta melanggar hak asasi manusia.
Beberapa tokoh adat di Sumba telah menyatakan bahwa kawin tangkap telah mengalami distorsi. Praktek ini telah jauh berbeda dari praktek yang dilakukan di masa lalu termasuk kandungan nilai-nilai di dalamnya. “Sebenarnya kawin tangkap sudah ada sejak dulu, yang dibuat oleh leluhur. Hanya saja, banyak yang ditambah-tambahi sehingga menyimpang” ungkap Pubu Galu Moni (Lembaga Adat Desa Waimanu di Sumba Tengah) kepada Komunitas Solidaritas Perempuan dan Anak Sumba (SOPAN).
Menghapus kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bukanlah hal mudah. Korban bisa saja mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan. Pasalnya, kekerasan yang terjadi diakibatkan oleh situasi sosial yang kompleks, di antaranya sistem patriarki yang berkelindan dengan stigma dan diskriminasi yang menjadi tekanan tersendiri bagi para korban. Tidak cukup mereka menderita sebagai korban kekerasan itu sendiri, dalam lingkungan masyarakat pun mereka kerap menghadapi ‘pengadilan’ sosial tanpa diberikan ruang untuk membela diri. Situasi ini tentu berpengaruh pada keengganan korban dalam melaporkan peristiwa yang mereka alami pada lembaga hukum.
Pembelajaran Advokasi lintas agama dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak
Banyaknya kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumba telah menggugah individu dan lembaga untuk terlibat aktif dalam pencegahan dan penangannya termasuk lembaga pemerintah, lembaga agama, NGO atau LSM serta berbagai komunitas anak muda lainnya. Kemanusiaan adalah nilai yang menggerakkan berbagai individu dan lembaga dalam perang melawan berbagai bentuk ketidakadilan. Berbagai upaya melalui edukasi dan advokasi dilakukan dengan menargetkan banyak pihak, seperti anak muda, lembaga pendidikan, lembaga adat, kelompok perempuan, dan masyarakat umum.
Edukasi pencegahan kekerasan dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan seperti GEDSI (gender equality, disabilitas, and social inclusive), kesehatan reproduksi maupun perlindungan anak. Tujuan utama edukasi ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sementara itu, advokasi dilakukan melalui pendampingan korban, pendampingan lembaga adat juga komunitas setempat. Pendampingan ini diharapkan mampu menjadi ruang yang kuat dan positif untuk menciptakan situasi yang damai, adil dan inklusif.
Di antara lembaga yang terlibat aktif dalam upaya ini adalah Badan Pengurus Daerah Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (BPD PERUATI) Sumba di bawah kepengurusan pendeta-pendeta GKS (Gereja Kristen Sumba). Mereka konsisten melakukan edukasi maupun advokasi kasus-kasus kekerasan di Sumba. Selain itu Lembaga Bantuan Hukum Sarnelli yang dipimpin salah satu Imam Katolik dari kongregasi redemptoris atau CSsR pun sangat aktif dalam melakukan advokasi di bidang hukum untuk membantu penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Pada bulan Februari 2024, sebagai peringatan terhadap hari Santa Jophenie Bakhita yang merupakan pelindung korban perdagangan manusia dalam keyakinan agama Katolik sekaligus memperingati Hari Doa Dan Kesadaran Internasional Melawan Perdagangan Manusia membuat doa bersama lintas agama. Kegiatan ini diinisiasi oleh kelompok Talita Kum Sumba. Beberapa biarawati dari susteran Amalkasih Darah Mulia (ADM) di Sumba merupakan anggota dari kelompok yang fokus pada pencegahan perdagangan manusia ini. Dalam doa bersama hadir pimpinan atau perwakilan agama dari agama Katolik, Protestan, Islam, Hindu dan Buddha serta tokoh Marapu. Semua pimpinan agama ini turut serta mendoakan para korban perdagangan manusia serta berbagai upaya yang dilakukan oleh siapa saja dalam usaha menghentikan perdagangan manusia.
Sementara itu, Komunitas SOPAN terlibat dalam advokasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain melakukan edukasi, perkumpulan yang relawannya berasal dari berbagai latar agama, maupun daerah asal ini pun ikut melakukan advokasi dalam bentuk pendampingan lembaga adat dalam pencegahan kawin tangkap. Lembaga adat ini juga beranggota penganut kepercayaan lokal Sumba, seperti Marapu. Melibatkan penganut Marapu dalam upaya pencegahan kekerasan di Sumba sangatlah penting. Sebab, mereka memegang peranan besar dalam mengatur aktivitas sosial dan budaya di Sumba termasuk pengamalan nilai dan filosofi hidup masyarakat Sumba.
Kerja-kerja kolaboratif dari berbagai pihak untuk menghapus berbagai bentuk kekerasan di Sumba membutuhkan nafas yang panjang. Sebab, gerakan yang bekerja dalam peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kasus kekerasan merupakan kerja kebudayaan. Dengan itu, budaya masyarakat diharapkan mampu mendukung korban, dan yang paling penting adalah untuk tidak menjadi pelaku kekerasan.
***
Artikel ini merupakan kerja sama antara INFID melalui PREVENT x Konsorsium INKLUSI dengan penulis sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.