Oleh: Arina Rahmatika, Srikandi Lintas Iman Yogyakarta
“Tidak ada orang yang mau dilanggar haknya, hanya karena ia memilih apa yang diyakininya. Memilih menjadi seorang penghayat kepercayaan adalah hak, yang seharusnya diperlakukan sama dengan penganut agama lainnya.”
Dessy masih berusia 17 tahun saat memutuskan untuk menjadi seorang penghayat kepercayaan Paguyuban Eklasing Budi Murko (PEBM). Awalnya ia adalah seorang Muslim. Pencarian jati diri itu bermula saat selepas SMA saat Dessy bekerja di sebuah lembaga yang bergerak di bidang kajian Islam dan sosial yang berbasis di Yogyakara. Saat itu, salah satu tugasnya adalah mendampingi komunitas penghayat kepercayaan. Saat pertama kali melakukan pendampingan, ia tak begitu tahu apa itu penghayat kepercayaan.
Aktivitas yang intens dalam berbagai kegiatan penghayat kepercayaan PEBM, Dessy kemudian mulai berminat untuk belajar lebih dalam. Dalam perjalanannya itu, ia kemudian memahami bahwa penghayat kepercayaan tidak hanya satu, tapi ada banyak ragamnya. Hingga pada satu titik ia mulai menyadari bahwa keyakinan adalah hanya urusan diri sendiri dengan Tuhan.
Sejak saat itu Dessy mulai bergulat dengan keyakinan yang telah diimaninya sedari kecil. Dalam perjalanan spiritual itu, ia akhirnya memutuskan untuk menjadi penghayat kepercayaan pada tahun 2022. Pilihan itu ia buat secara sadar. Dengan nada yakin, ia berkata, “Kita punya hak untuk memilih. Semua pilihan itu saya kembalikan ke diri saya sendiri”
Kamu punya Tuhan enggak?
Berbeda dengan Dessy, Sekar seorang penganut penghayat sejak lahir. Sekar menjadi seorang penghayat karena terlahir dari orang tua dan keluarga penganut penghayat kepercayaan. Meski begitu, kolom agama di KTP Sekar tertulis Islam. Sebab, Sekar ragu dengan tanggapan masyarakat, dan pada saat itu negara belum mengakui secara penghayat keyakinan sebagai salah satu agama resmi.
Dalam keraguan dan ketidaknyamanan karena harus menutupi keyakinannya itu, akhirnya orangtua Sekar menyarankannya untuk pergi ke Yogyakarta. “Coba aja kamu ke Jogja, barangkali lingkungannya di sana lebih nyaman karena banyak penghayat yang lain”, kata Sekar mengingat kembali saran orang tuanya.
Mengikuti saran orang tuanya, Sekarpun merantau ke Yogyakarta. Setelah beberapa bulan di Yogyakarta, ia akhirnya berani memutuskan untuk mengganti kolom agama di KTP nya menjadi kepercayaan penghayat kebatinan Sapta Dharma.
Saat di Yogyakarta, Sekar pernah bekerja di suatu perusahaan. Saat wawancara kerja, manajernya mempertanyakan mengenai kolom agama di KTP nya yang tertulis “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Sekar pun menjelaskan bahwa ia seorang penghayat kepercayaan dan manajernya menerimanya. Tak ada respons yang berlebihan dari manager Sekar waktu itu, atasannya hanya menitipkan pesan untuk fokus dan giat untuk bekerja.
Satu siang di jam istirahat, Sekar pergi beribadah di sanggar yang jaraknya cukup jauh dari lokasi perusahaannya. Sekembalinya dari sanggar, rekan-rekan kerjanya Sekar bertanya mengapa ia lama sekali mengambil waktu istirahat. Sekar pun menjelaskan bahwa ia seorang penghayat kepercayaan dan melakukan ibadah di sanggar yang cukup jauh jaraknya. Sayangnya, Sekar merasa di jauhi rekan kerjanya selepas mereka tahu bahwa Sekar seorang penghayat kepercayaan.
Tantangan perasaan tidak nyaman itu kemudian berlanjut. Sekar diminta untuk melakukan pekerjaan di luar tanggung jawab karena dianggap punya energi lebih karena tidak harus berpuasa saat Ramadan. Sementara ketika Sekar ingin melakukan ibadah–terutama di Sanggar yang jaraknya cukup jauh, rekan kerjanya tidak memberikan permakluman yang sama dalam melaksanakan ibadah sebagaimana pemeluk agama lain.
Kejadian tak nyaman juga terjadi saat Sekar pulang ke rumahnya di Cirebon. Pertanyaan yang bersifat pribadi dilayangkan oleh tetangga yang menjumpainya tak lagi memakai kerudung. Ia pun menjelaskan bahwa ia adalah seorang penghayat kepercayaan. Namun, tetangganya itu menimpali kembali jawaban Sekar dengan pertanyaan: Kepercayaan itu apa? Memang ada di Indonesia? Kamu punya Tuhan enggak?”
Hal serupa juga dilakukan oleh Lilin yang sengaja untuk tidak menunjukkan secara jelas keyakinannya. Itu dilakukan oleh Lilin karena ingin menghindari diskriminasi. Lilin memilih menjadi seorang penghayat kepercayaan paguyuban Angudi Bawonototo lahir batin mengikuti jejak ibunya. Sejak lama Lilin melihat ibunya beribadah di tengah malam. Meski terlihat sederhana, pengalaman itu membawa perjalanan batin sendiri bagi Lilin. Pun, Lilin menyadari bahwa menjadi seorang penghayat kepercayaan berarti juga melestarikan agama lokal di Indonesia.
Diakui Meski Didiskriminasi
Keengganan Sekar dan Lilin untuk menunjukkan identitasnya sebagai penghayat kepercayaan salah satunya karena masyarakat masih menganggap penghayat kepercayaan sesuatu yang aneh. Banyak dari masyarakat yang masih mempertanyakan mengenai penghayat kepercayaan. Bahkkan beberapa orang menganggap penganut penghayat kepercayaan sebagai orang yang tidak memiliki agama.
Penghayat kepercayaan baru diakui negara sebagai bagian dari agama pada 2016. Oleh karena itu, sebelum diakui oleh negara, penganut penghayat kepercayaan akhirnya memilih agama untuk dicantumkan di kolom KTP nya. Hingga akhirnya beberapa penganut kepercayaan mengajukan pengakuan penghayat kepercayaan sebagai bagian dari agama dan terbitlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Administrasi Kependudukan, yang memperbolehkan penganut penghayat kepercayaan dapat mencantumkan keyakinan mereka dalam kartu identitas atau KTP dan kartu keluarga.
Penghayat kepercayaan dikenal sebagai agama adat yang mempraktikkan kepercayaan leluhur yang berasal dari nenek moyang terdahulu. Ada juga penghayat kepercayaan yang mempraktikkan adat dalam perayaan agama utama. Ada penghayat murni yaitu mereka yang tidak meyakini satu agama pun yang diakui pemerintah. Ada pula penghayat beragama, yaitu pemeluk agama resmi tetapi juga mengaku mengikuti aliran kepercayaan tertentu.
Saat ini ada 188 organisasi penghayat di pusat dan lebih dari 1000 organisasi cabang di berbagai wilayah di Indonesia dengan sekitar 12 juta penghayat kepercayaan. Dari jumlah itu, sekitar 27 aliran penghayat kepercayaan mengalami kevakuman, karena pendirinya atau guru panutannya telah meninggal dunia. Himpunan ini menaungi para penganut dalam menjalankan keyakinannya.
***
Artikel ini merupakan kerja sama antara INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI dengan penulis sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.
sumber: https://infid.org/memilih-menjadi-seorang-penghayat/