Di Mana Agama Lokal Dalam Toleransi Beragama di Indonesia?

Loading

Linda Tagie

Melalui UUD 1945 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Sayangnya, kemerdekaan memeluk agama di Indonesia masih terbataas pada 6 agama resmi. Sementara keberadaan agama lokal seolah tersingkir di tengah narasi moderasi beragama di Indonesia. Catatan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada 2003 melaporkan bahwa pernah ada 245 agama lokal di Indonesia. Namun karena tidak adanya pengakuan dan perlindungan negara terhadap eksistensi agama-agama lokal di Indonesia, saat ini tersisa ± 26 agama lokal yang masih menjalankan ritual agamanya.

Kementerian Agama menjelaskan bahwa agama merupakan sebuah ajaran kebaikan yang menuntun manusia kembali kepada hakikat kemanusiannya. Beragama artinya kita berupaya belajar untuk mengamalkan ajaran agama dalam setiap aspek kehidupan, agar terjalin hubungan yang indah dan harmonis antar sesama, alam semesta maupun dengan Tuhan. Artinya agama ada untuk memanusiakan manusia agar terjalin hubungan yang harmonis bukan hanya dengan penganut agama yang sama, tapi juga dengan mereka yang berbeda cara dan tempat ibadahnya, pun dengan alam semesta dan tentu saja dengan Tuhan.

Hari-hari ini lini masa kita tak pernah bebas dari pemberitaan pembubaran kegiatan ibadah, penutupan rumah ibadah, dan narasi-narasi intoleran. Pun, pada 6 Mei 2024 terjadi penggerudukan yang dilakukan terhadap sekelompok mahasiswa yang menggelar ibadah Doa Rosario di Tangerang Selatan.

Berita-berita ini mengingatkan saya pada artikel berjudul ‘Tuhan Tidak Perlu Dibela’ yang ditulis oleh mantan presiden ke-4 RI sekaligus Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diterbitkan oleh Tempo pada 28 Juni 1982, kemudian menjadi judul buku kumpulan tulisan Gus Dur. Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh semua kalangan sebagai referensi mengenai toleransi beragama dan moderasi beragama di Indonesia.

Sebagai seseorang yang terlahir di keluarga penghayat Jingitiu di pulau Sabu memiliki pengalaman pada masa “bersih lingkungan” pada era Orde Baru. Kakek pernah ditangkap dan nyaris terbunuh karena menjadi penghayat jingitiu yang kemudian dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia. Padahal kakek sama sekali tidak paham PKI.

Ingatan saya masih basah. Bagaimana rumitnya administrasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi jika tidak menganut salah satu agama resmi. Akhirnya, saya dibaptis pada usia 11 tahun saat kelas lima SD. Pada 2020, ketika saya kembali ke Sabu untuk penelitian, administrasi yang rumit ini ternyata masih dialami anak-anak penghayat Jingitiu. Pun, dialami oleh perempuan adat penghayat Jingitiu dalam administrasi untuk mengakses bantuan pemerintah, seperti BLT, PKH, dan pembagian beras (raskin).

Penghayat Jingitiu menghormati tiga Dewa; Rai Balla, penguasa tanah yang menyediakan berbagai jenis pangan dan sumber daya alam, Dahi Balla, penguasa laut yang menyediakan berbagai sumber daya kelautan, dan Liru Balla, penguasa langit yang mencurahkan hujan untuk menunjang kebutuhan air dan pangan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Penghayat Jingitiu melaksanakan ritual tanam untuk memohon restu kepada Rai Balla sebelum musim tanam, dan ritual meminta hujan kepada Liru Balla agar ia bekerja sama dengan Rai Balla untuk menumbuhkan bibit yang mereka tanam. Setelah musim panen, mereka melakukan ritual Hole, festival musim panen di mana para penghayat Jingitiu akan berkumpul di pantai dengan membawa sedikit dari hasil panen mereka (sorgum dan kacang-kacangan) yang sudah diisi ke dalam ketupat untuk diserahkan kepada Mone Ama (tua adat), mereka akan melakukan ritual bersama dan mendorong hasil panen yang dikumpulkan ke dalam laut karena mereka percaya bahwa laut adalah penghubung antara langit dan bumi. Merupakan pantangan besar bagi penghayat Jingitiu untuk menjual tanah adat, atau menebang pohon dari hutan dan mengeruk sumber daya alam dalam jumlah berlebihan. Selain agama leluhur Jingitiu di Sabu, ada penghayat Marapu di Sumba dan Penghayat Halaika di Boti, Timor Tengah Selatan. Semua penghayat agama ini sama-sama hidup selaras dan harmoni dengan manusia dan alam mereka.

Meski secara administrasi aliran kepercayaan sudah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan sebagai payungnya adalah pasal 29 UUD 1945. Oleh karenanya, sikap intoleransi dan diskriminatif terhadap penghayat agama lokal merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang mencederai harkat dan martabat kemanusiaan. Jika negara hanya mengakui enam agama, maka jaminan kemerdekaan beragama tampaknya tidak berlaku bagi penganut agama lokal. Berbagai upaya dilakukan masih untuk mempengaruhi penghayat agama lokal agar mau meninggalkan kepercayaan mereka dan kemudian memilih salah satu dari enam agama yang diakui di Indonesia.

Beragama seharusnya membuat manusia menjadi lebih arif. Sayangnya, penghayat agama lokal seringkali dianggap kafir, penyembah berhala, dan dilekatkan berbagai stigma buruk lainnya. Padahal, penghayat agama lokal benar-benar mempraktikkan dan menjaga keharmonisa hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, berbagai ciptaan yang lain, dan alam semesta. Mereka menghormati alam semesta dengan segala isinya, merawat alam sebagai sumber kehidupan dan pantang mengeksploitasinya.

Saat Tuhan dan agama dimaknai dengan keliru, di sana akan selalu ada kemungkinan pertarungan dan kekerasan atau bahkan genosida. Semoga Tuhan dan agama dimaknai dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya di tempat di mana kita bertumbuh.

***

Artikel ini merupakan kerja sama antara INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI dengan penulis sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.

sumber: https://infid.org/di-mana-agama-lokal-dalam-toleransi-beragama-di-indonesia/

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content