Oleh: Denty Piawai Nastitie
Sama seperti di Indonesia, masyarakat Inggris terdiri dari kelompok yang beragam. Menurut sensus 2021, jumlah penduduk Inggris dan Wales adalah 59,6 juta. Sebanyak 81,7% (48,7 juta) penduduknya berkulit putih. Angka kulit putih turun dari 86,0% (48,2 juta) pada tahun 2011. Adapun 18% penduduk berkulit hitam, kelompok etnis Asia, campuran atau lainnya. Jumlah penduduk kulit berwarna justru meningkat dari 13,8% pada tahun 2011.
Keberagaman masyarakat Inggris salah satunya terlihat dari drama komedi Man Like Mobeen. Series yang terbagi menjadi empat bagian dengan total episode sebanyak 17 ini ditayangkan perdana di BBC Three pada 17 Desember 2017, sementara bagian terakhirnya keluar tahun lalu, atau pada 23 Juni 2023. Meskipun bergenre komedi, series ini membahas masalah-masalah serius, mulai dari keluarga, kelaparan, kriminalitas, kesehatan mental, rasisme, dan Islamofobia.
Series komedi ini dibintangi oleh Guz Khan sebagai Mobeen, mantan pengedar narkoba yang kini mencoba menjalani kehidupan yang baik sebagai seorang Muslim sambil membesarkan adik perempuannya, Aqsa (Duaa Karim). Mobeen berwatak keras kepala dan ceroboh, tetapi ia dekat dan perhatian dengan adik dan teman-temannya.
Lokasi drama komedi ini mengambil tempat di Kawasan Small Heath, Birmingham. Di daerah yang dihuni sebagian besar oleh British Pakistan, Mobeen menghabiskan waktu bersama teman baiknya, Nate (Tolu Ogunmefun) dan Eight (Tez Illyas).
Episode pertama Man Like Mobeen dibuka dengan adegan ketiga bintangnya, Mobeen, Nate, dan Eight, sedang mengobrol di pinggir jalan. Tiba-tiba, mereka didatangi oleh polisi bersenjata lengkap yang sedang mencari pengedar narkoba. Saat itu, Mobeen, Nate, dan Eight sebenarnya sedang ngobrolin hal receh mengenai kucing. “Ini profil rasis,” kata Mobeen sambil mengangkat kedua tangannya.
Melihat polisi datang, Nate kabur. Petugas bertanya kepada Mobeen kenapa temannya itu ketakutan. “Jika saya harus menebaknya, itu karena dia berkulit hitam,” jawab Mobeen. “Saya tidak tahu apakah Anda pernah mendengar hal yang disebut ‘sejarah’, tetapi situasi seperti ini sering kali tidak menguntungkan bagi orang kulit hitam.”
Dalam series ini, terdapat sejumlah adegan yang dibuat untuk mengupas lapisan stereotipe di masyarakat. Misalnya, terdapat adegan Mobeen, yang bertubuh tinggi besar dan berjanggut, mengepang rambut adik perempuannya. Bagi banyak orang yang hidup di era modern, laki-laki mengepang rambut seorang adik perempuan bukanlah pemandangan biasa. Tetapi, adegan itu dibuat untuk menyulap profil rasial menjadi momen humor yang ringan dan humanis.
Annie Murphy Paul dalam Where Bias Begins: The Truth about Stereotypes (Psychology, 1998) menulis bahwa stereotipe sebagai penilaian sederhana dan tidak kritis terhadap seseorang berdasarkan karakteristik seperti jenis kelamin, usia, ras, etnis dan warna kulit yang menganggap mereka sebagai atribut yang dipelajari sejak awal kehidupan dari masyarakat. Stereotipe dipakai tidak hanya untuk mengkategorikan, mengatur, dan menyederhanakan sejumlah informasi kompleks, tetapi juga untuk menggeneralisasi seseorang. Oleh karena itu, terdapat kecenderungan untuk mempercayai ‘kebenaran’ penilaian tanpa mengabaikan bukti yang bertentangan. Stereotipe mempunyai efek menutupi isu rasisme dan kesenjangan struktural yang ada di masyarakat, dan oleh karena itu “seringkali cukup merugikan.”
Dalam Man Like Mobeen, Mobeen dan teman-temannya kerap menerima stereotipe merugikan yang membuat mereka harus berurusan dengan polisi. Urusan dengan polisi ini telah menghambat kesejahteraan kelompok minoritas yang sebelumnya juga sudah sering dirugikan karena diskriminasi.
Sejumlah penelitian juga menunjukkan diskriminasi di Inggris kerap merugikan kelompok imigran, terutama yang berasal dari negara non-Uni Eropa karena perbedaan etnis, kewarganegaraan, agama, bahasa, dan aksen (The Migration Observatory, 2020). Stereotipe, prejudice, dan diskriminasi di masyarakat Inggris berulang kali terjadi. Misalnya dalam hal agama, di Inggris Islamofobia meningkat jumlahnya. Hal itu terlihat bahwa lebih dari separuh anggota partai konservatif Inggris percaya agama Islam sebagai ancaman terhadap “cara hidup orang Inggris” (The Guardian, 2024).
Pun di Indonesia, stereotipe sering menyasar kelompok agama dan ras minoritas. Dalam jangka panjang, label stereotipe pada kelompok agama dan ras tertentu juga merugikan karena memunculkan prasangka yang berujung pada tindakan diskriminatif, ketidakadilan, dan bahkan konflik. Di Cianjur, misalnya, terdapat pencopotan label gereja pada tenda pengungsian yang ditempati oleh korban gempa (Kompas.id, 29 November 2022). Pencopotan label tersebut telah mencoreng semangat toleransi, menciptakan konflik, dan merugikan korban gempa yang seharusnya segera mendapatkan pertolongan. Demikian juga stereotip etnis Tionghoa yang berlangsung dari generasi ke generasi bersifat diskriminatif dan merugikan.
Beresonansi
Ketika membuat Man Like Mobeen, Guz Khan mengatakan bahwa dirinya hanya ingin membuat komedi yang dapat dianggap lucu menurut kelompoknya. Dia merasa sangat senang karena cerita yang diambil dari pengalaman sehari-hari itu bisa beresonasi dengan dunia luar dan mendapatkan sambutan hangat dari para penonton.
Dalam wawancara dengan sebuah media hiburan Inggris, NME (Januari 2020), Khan mengatakan bahwa sangat mudah untuk menghakimi seseorang atas perbuatan dan apa yang diterimanya. Tetapi, dia ingin mengajak penonton juga untuk melihat latar belakang seseorang hingga membawanya mencapai pada titik tersebut.
Guz Khan lahir dari keluarga Pakistan. Daerah tempat tinggalnya di Coventry dihuni oleh masyarakat beragam etnis. Waktu masih kecil, Khan berteman dengan seorang anak kulit putih. Saat temannya itu ulang tahun, semua anak diundang kecuali Khan. “Dia berkata: ‘Aku ingin mengundangmu tapi ayahku bilang dia tidak ingin ada orang Pakis di pesta itu’,” kata Khan menceritakan pengalaman masa kecilnya kepada The Guardian, Maret 2019.
Pengalaman masa kecil membentuk Khan hingga dewasa. Sebelum menjadi aktor, Guz Khan adalah seorang guru humaniora di sekolah menengah di kota asalnya, Coventry, tak jauh dari Birmingham. Di antara waktu mengajar, dia mulai membuat video YouTube sebagai Mobeen. Video itu dibuat untuk melawan pandangan stereotipe Fox News yang menyebutkan Birmingham sebagai ‘sarang Islam fundamentalis’. Menurutnya, kehidupan di Birmingham tidak seperti yang digambarkan oleh media. Video Khan menjadi viral.
Khan kemudian diundang mengisi acara radio di BBC Asian Network dan muncul di Drun History Comedy Central dan Borderline Mockumentary Channel 5. Ia lalu menuliskan Man Like Mobeen bersama Andy Milligan. Drama komedi itu disutradarai Ollie Parsons (bagian 1-3) dan Akaash Meeda (4). Menurut Khan, siapapun bisa membuat sitcom. “Tetapi, kami ingin komedi situasi itu menampilkan isu-isu nyata,” kata dia.
Menonton drama komedia Man Like Mobeen terasa menghibur, sekaligus membuat penonton ikut merasakan naik turunnya menjadi bagian dari kelompok minoritas. Bersama Mobeen si jenaka, penonton diajak mengupas lapis demi lapisan stereotip agama dan ras di masyarakat yang dalam banyak kejadian terasa kecut, pahit, bahkan kadang menyakitkan.
***
Artikel ini merupakan kerja sama antara INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI dengan penulis sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.
sumber: https://infid.org/mengupas-stereotipe-agama-melalui-man-like-mobeen/