Pelatihan LOVE Seri Manado: Upaya Membangun Perspektif Pendidikan Agama yang Inklusif

Loading

Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID

Intoleransi dan ekstremisme kekerasan berbasis agama semakin menguat dalam dekade terakhir. Sikap keterbukaan dan penghargaan terhadap perbedaan, termasuk kelompok minoritas dan marjinal, masih lemah di kalangan aktor-aktor pendidikan. Fenomena ini juga terlihat dalam maraknya paham ekstremisme di institusi pendidikan dan eksklusivisme dalam buku teks pendidikan agama. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi belum berhasil membangun perspektif dan sikap beragama yang inklusif, sehingga tantangan yang dihadapi semakin berat.

Untuk merespon fenomena tersebut, MAARIF Institute kembali melakukan serangkaian pelatihan LOVE (Living Our Values Everyday) yang bertujuan mengajak para guru untuk merefleksikan diri, orang lain, dunia, serta nilai-nilai yang terintegrasi. Pelatihan kali ini diadakan di Manado, Sulawesi Utara pada 4-6 Oktober 2024. Pelatihan LOVE bertujuan untuk mendorong guru dalam melihat dampak perbuatan mereka terhadap orang lain dan bagaimana mereka bisa membuat perbedaan positif. Strategi pendidikan yang diusung melalui pelatihan ini sangat relevan dan penting, terutama di tengah berbagai problema sosial yang dihadapi saat ini.

Peserta guru diajak mengeksplorasi nilai-nilai pribadi dan sosial sebagai potensi untuk menghidupkan kesadaran serta menajamkan kepekaan terhadap isu inklusi sosial. Kemudian peserta belajar untuk memahami nilai personal sebagai harga diri dan kesetaraan seseorang, sambil belajar menghargai nilai-nilai berbeda dari orang lain untuk menciptakan koeksistensi dalam kehidupan yang damai dan inklusif. Indikator kunci yang dicapai meliputi terbangunnya kesadaran inklusi dalam dunia pendidikan, tumbuhnya nilai-nilai dasar kesadaran akan keberagaman melalui teori dan refleksi, serta adanya dinamika sosial-keagamaan dalam diri peserta dalam memandang realitas sosial yang beragam.

Pelatihan LOVE di Manado di buka oleh Direktur MAARIF Institute, Abd. Rohim Ghazali, yang menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan implementasi dari gagasan Buya Syafii Maarif tentang kemanusiaan, integritas, dan keterbukaan. Menurut Rohim, manusia sering saling memusuhi karena ketidakpahaman dan ketidaktahuan. Oleh karena itu, diperlukan strategi dan pendekatan yang memanusiakan manusia dari berbagai latar belakang suku, budaya, bahasa, dan agama.

Moh. Shofan, dalam pengantar pembukaannya, menyebutkan bahwa bullying, kekerasan seksual, dan intoleransi kini menjadi masalah besar dalam dunia pendidikan. Dengan pendekatan inklusif, diharapkan guru dapat mengatasi tiga dosa besar pendidikan ini. Seminar pelatihan menghadirkan narasumber seperti Taufani (IAIN Manado), Ikmal (IAIN Manado), Natalia Olivia Kusuma Dewi Lahamendu (IAKN Manado), dan Rohit Mahatir Manese sebagai moderator.

Taufani menjelaskan peran penting guru dalam menanamkan pemahaman terkait keagamaan dan intoleransi di sekolah. Menurutnya, sifat-sifat intoleran sering muncul dari ajaran radikal oleh beberapa pihak, termasuk guru yang hanya membaca teks kitab suci secara kontekstual. Natalia Olivia Kusuma menambahkan bahwa inklusi keagamaan dan kebudayaan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat. Ikmal menegaskan bahwa nilai spiritualitas anak-anak generasi sekarang mengalami penurunan yang signifikan, sehingga perlu penanaman kembali nilai-nilai keagamaan yang sesuai dengan kebhinekaan Indonesia.

Pada saat pelatihan, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok untuk membuat miniatur lembaga pendidikan inklusi. Peserta didorong menggunakan konsep P5 (Paradigma, Policy, Practice, Program, dan Personal) sebagai landasan pembuatan lembaga pendidikan yang mengedepankan nilai inklusi. Kemudian sesi dilanjutkan dengan simulasi untuk menjadi pendengar aktif, reflektif, dan mediator yang baik. Di akhir sesi pelatihan, fasilitator mengajak peserta untuk merefleksikan nilai-nilai inklusi dalam diri peserta.

Temuan dari pelatihan di Manado yaitu, pertama menstimulasi peserta untuk melahirkan gagasan baru terkait inklusivitas. Kedua, keterbukaan komunikasi antar peserta dengan latar belakang agama dan organisasi yang berbeda tercipta, adanya inisiatif untuk membangun kerjasama, diskusi, evaluasi, dan penerimaan atas perbedaan. Hal ini tercermin dari gagasan dan konsep yang lahir pada proses jalannya pelatihan dan pasca pelatihan.

Kendati demikian, beberapa guru menyampaikan bahwa nilai inklusi keagamaan sudah berjalan baik di sekolah, namun masalah terjadi dari lingkungan keluarga pelajar yang belum menanamkan toleransi. Kemudian peserta menyetujui bahwa program keagamaan di sekolah masih belum kreatif dan tidak saling melibatkan antar agama yang dianut oleh para pelajar. Sehingga baik guru dan pelajar tidak memiliki pemahaman yang sama tentang toleransi; beberapa masih mengkotak-kotakkan agama mayoritas dan minoritas di sekolah begitupun dengan bias subjektif dan stigmatisasi.

Tantangan dalam menghidupkan dan menyebarluaskan nilai-nilai inklusi sosial-keagamaan meliputi membangun kesadaran pendidik untuk melihat realitas sosial masyarakat dan inovasi untuk program-program kreatif yang melibatkan kelompok lintas agama. Dari hambatan dan tantangan tersebut, strategi yang ditentukan oleh peserta di Manado yaitu, (1) nilai-nilai inklusi sosial-keagamaan di lingkungan pendidikan dapat dihidupkan dengan cara membangun kesadaran dan perspektif guru dalam melihat perbedaan dan keragaman melalui pendampingan, kegiatan saling melibatkan/bermakna, dan pelatihan yang menimbulkan gagasan baru. (2) Guru juga harus mempraktikkan nilai-nilai inklusi dalam ruang-ruang pendidikan dan merancang kurikulum yang mendukung nilai-nilai tersebut. (3) Berkoordinasi dan melibatkan semua elemen, terutama kepala sekolah, juga penting untuk mendukung penerapan nilai-nilai inklusi di dunia pendidikan. Dengan strategi-strategi ini, pelatihan LOVE diharapkan mampu menciptakan kesadaran dan keterampilan inklusif yang lebih baik di kalangan guru, sehingga dapat diterapkan di lingkungan pendidikan dan masyarakat luas.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content