MAARIF Institute mengadakan pelatihan Living Our Values Everyday (LOVE) sebagai upaya mempromosikan pendidikan inklusif bagi guru-guru pendidikan agama di Malang, Jawa Timur. Pelatihan ini bertujuan untuk menciptakan adanya saling transfer pengetahuan serta menjadi alat rekayasa sosial yang terbuka, kreatif, dan menyenangkan yang dapat diterapkan di sekolah tentang pengenalan inklusi sosial berbasis keagamaan. Demografi peserta yang dihadirkan pun beragam, yaitu 21 Guru Agama yang terdiri dari 13 peserta perempuan dan 8 peserta laki-laki. Kegiatan ini juga menghadirkan 3 Guru Agama Hindu, 1 Guru Agama Katolik, 1 Guru Agama Kristen dan 17 Guru Agama Islam. Di samping itu, peserta diidentifikasi aktif dalam organisasi keagaman di antaranya adalah perwakilan Peradah, Pemuda Muhammadiyah, Ansor NU, Nasyiatul Aisyiyah, Fatayat NU, Muslimat NU, dan Pemuda Katolik.
Berangkat dari berbagai fenomena eksklusivisme yang cenderung menghasilkan sikap intoleransi dalam dunia pendidikan,para guru agama diajak untuk membangun kualitas kesadaran diri akan pentingnya berpikir terbuka, menghargai keragaman, dan mengintegrasikan nilai-nilai luhur agama dalam ruang-ruang pendidikan. Guru-guru didorong untuk peka dan dapat melihat akibat dari perilaku mereka terhadap orang lain yang berpotensi konflik dan perpecahan sebagai akibat dari perbedaan. Dengan demikian, Pelatihan LOVE menjadi strategi dalam membangun kesadaran para guru agama dalam menciptakan suasana inklusi dalam pendidikan keagamaan.
Dalam sambutannya, Abd. Rohim Ghazali selaku Direktur Eksekutif MAARIF Institute, menekankan pentingnya konsep “Dar’ul Mafasid, Muqaddam ala Jalbil Mashalih” dalam konteks inklusi sosial, konsep ini menekankan bahwa menolak kerusakan yang lebih besar harus diutamakan daripada melakukan kebaikan. Artinya, tindakan yang menghindari potensi eksklusivitas lebih diutamakan daripada kebaikan yang bersifat personal.
Pelatihan LOVE yang berlangsung selama tiga hari ini dimulai dengan seminar bertema “Penguatan Guru Agama dalam Pendidikan Inklusi” menjadi materi utama yang membahas tentang pentingnya inklusivitas dan toleransi dalam pendidikan. Diskusi dan sesi tanya jawab menggali lebih dalam tentang peran guru dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif. Peserta dipandu untuk mengenal diri sendiri dan orang lain, dilanjutkan dengan refleksi diri, pengenalan teori perubahan (Theory of Change), dan simulasi nilai-nilai inklusi dalam kelompok-kelompok kecil.
Membangun Proses: Inklusi Sosial di Kalangan Guru Agama
Para pemateri seperti Subhan Setowara dan Dr. Joko Susilo memberikan pandangan yang beragam tentang inklusivitas, mulai dari perspektif minoritas hingga pendekatan kebudayaan. Subhan menyampaikan bahwa belajar inklusivitas sebaiknya dimulai dengan “menjadi” minoritas untuk memahami perasaan mereka yang terpinggirkan. Sementara itu, Dr. Joko mengaitkan inklusivitas dengan kebudayaan, menegaskan pentingnya menyampaikan informasi sesuai dengan targetnya, bahwa berbeda orang akan berbeda pula anggapannya. Oleh sebab itu, komunikasi, interaksi, dan interpretasi harus sejalan antara pemahaman kognisi dan afeksi atau apa yang diucapkan harus sesuai dengan apa yang dirasakan dan dilakukan.
Rina W. Setyaningrum melanjutkan sesi dengan memperkuat konsep pendidikan inklusi dan multikultural. Awalnya “pendidikan inklusi” diterapkan untuk pelajar dengan disabilitas. Namun, seiring berjalannya waktu, konsep inklusi telah berkembang menjadi lebih luas, mencakup keunikan setiap individu dalam konteks keberagaman. Setiap orang memiliki kekhasan tersendiri, begitu pula dengan latar belakang keyakinan, agama, atau kepercayaan masing-masing.
Peserta kemudian diajak untuk beraktivitas dengan merancang lembaga pendidikan inklusi impian menggunakan media yang telah disediakan oleh pelatih. Dalam aktivitas ini, mereka membangun fondasi nilai inklusi dalam lembaga impian tersebut. Melalui aktivitas ini, peserta dapat mengekspresikan perbedaan dan menyepakati berbagai ide, sehingga terbentuklah lembaga pendidikan inklusi impian yang didasarkan pada kerjasama dan beragamnya gagasan dalam kelompok.
Tidak berhenti di situ, peserta juga belajar tentang resolusi konflik untuk mengukur sejauh mana mereka menghargai dan menoleransi perbedaan keputusan, sikap, dan egoisme yang muncul. Proses ini menghasilkan karakter-karakter seperti bijaksana, egois, pendiam, dan terlalu percaya diri. Tujuannya adalah membangun kesadaran mental dalam menghadapi perbedaan dan keragaman dalam kehidupan nyata. Peserta diberi pilihan untuk menjadi pendengar aktif atau pembicara aktif.
Pelatihan LOVE mampu menciptakan suasana inklusif dan membangun kesadaran di kalangan guru agama tentang pentingnya inklusi sosial dalam pendidikan. Melalui berbagai aktivitas reflektif, diskusi, dan simulasi, para peserta dapat menginternalisasi nilai-nilai inklusi dan menerapkannya dalam lingkungan pendidikan mereka. Kesadaran inklusi tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi juga menjadi bagian dari sikap dan perilaku sehari-hari para guru. Dengan demikian, pelatihan LOVE tidak hanya memperkaya pengetahuan para guru agama, tetapi juga membentuk guru menjadi agen perubahan yang mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan menghargai keragaman. Semangat inklusi yang ditanamkan selama pelatihan diharapkan dapat terus/selalu berkembang dan berdampak positif dalam dunia pendidikan dan masyarakat luas.