Pelatihan LOVE Seri Bekasi: Menjadi Agen Inklusi Lewat Guru Agama

Loading

Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID

MAARIF Institute kembali menggelar Pelatihan LOVE (Living Our Values Everyday) pada tanggal 18-20 Agustus 2023 di Kota Bekasi. Pelatihan ini bertujuan untuk mengedukasi guru-guru agama di Bekasi tentang pentingnya inklusi sosial dan toleransi dalam pendidikan. Pelatihan ini dihadiri oleh berbagai narasumber dari latar belakang berbeda, serta melibatkan peserta dalam berbagai aktivitas yang dirancang untuk memperkuat nilai-nilai inklusi yang nantinya dapat dibagikan pada saat mengajar.

Abd. Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif MAARIF Institute dalam sambutannya, menekankan peran penting guru agama sebagai pendidik kedua setelah orang tua, terutama dalam mengajarkan nilai-nilai agama yang dianut siswa. Rohim mengingatkan bahwa meskipun perbandingan antara agama yang dianut oleh orang tua siswa dan agama lain bukanlah masalah, justifikasi terhadap kebenaran atau kesalahan agama lain dapat menimbulkan masalah. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Direktur Program MAARIF Institute, Moh. Shofan, yang menyoroti peningkatan praktik intoleransi di berbagai wilayah di Indonesia dalam lima tahun terakhir.

Pelatihan LOVE telah menghadirkan tiga narasumber: Marbawi (Praktisi Pendidikan), Mukti Ali (Intelektual NU), dan Siti Lutfi Latifah (Dosen IAIN Laa-Roiba). Marbawi menyebutkan apa yang dilakukan oleh yang MAARIF Institute telah membantu hal-hal yang kurang terakomodasi oleh Kemendikbud dalam memfasilitasi ruang-ruang perjumpaan lintas iman. Lalu, Mukti Ali menyoroti pentingnya inklusivitas dan toleransi dalam tradisi Islam, beliau memberikan contoh ayat-ayat yang menekankan perdamaian dan perlindungan terhadap agama lain yang melakukan perjanjian damai. Pemaparan narasumber dilanjutkan oleh Siti Lutfi Latifah menjelaskan tentang indikator masyarakat inklusif di bidang keagamaan, termasuk penerimaan sosial terhadap kelompok minoritas, kebijakan inklusif, dan lingkungan sosial yang mendukung partisipasi minoritas.

Selama pelatihan, peserta dipandu oleh trainer yang sudah kompeten di dalam  isu inklusivitas. Pada awal sesi trainer memandu peserta untuk menghayati alunan musik sambil menyampaikan pesan-pesan yang menggugah perasaan, mengajak peserta untuk berkomitmen mengikuti pelatihan hingga selesai. Setelah itu, peserta diajak membuat peraturan bersama sebagai kontrak belajar selama pelatihan berlangsung.

Trainer juga memperkenalkan konsep traffic control, yaitu  instrumen musik digunakan untuk menandai momen hening ketika suasana mulai tidak kondusif yang perlu disadari oleh seluruh peserta. Salah satu aktivitas menarik dalam sesi ini adalah guardian angel, setiap peserta mendapat tugas untuk mengawasi dan berbuat baik kepada peserta lain yang dipasangkan, selama pelatihan peserta diminta untuk merahasiakan nama orang yang mereka jaga. Aktivitas ini bertujuan meningkatkan kesadaran dan saling peduli antar peserta.

Dalam sesi diskusi dan sharing, peserta mengutarakan nilai-nilai pribadi dan sosial yang didapat dari pengalaman. Trainer memetakan nilai-nilai tersebut, dengan nilai pemaaf menempati peringkat teratas, diikuti oleh nilai gigih, sabar, ikhlas, tanggung jawab, semangat, dan peduli. Aktivitas ini diakhiri dengan mind mapping tentang nilai-nilai dalam diri masing-masing peserta, yang kemudian dipresentasikan. Peserta menyadari pentingnya energi positif dan dukungan dalam menebar nilai-nilai inklusi.

Dalam sesi aktivitas nilai, peserta dibagi menjadi empat kelompok untuk menggambar “pohon kehidupan” di atas kertas karton. Uniknya, dalam proses menggambar, setiap peserta di kelompoknya masing-masing dilarang untuk berbicara.  Meskipun demikian, setiap kelompok tetap berhasil merampungkan gambar pohon kehidupannya masing-masing yang kemudian dipresentasikan.

Dalam konteks inklusi sosial, kegiatan ini mampu untuk menciptakan saling memahami, kebersamaan, dan toleransi. Kunci dari semua itu adalah kepercayaan dan kolaborasi. Dengan demikian, peserta pelatihan ini yang merupakan guru-guru pendidikan agama, memiliki misi untuk menebar manfaat, keikhlasan, menjadi agen perubahan, menggali potensi, serta melanjutkan hal baik yang sudah ada sebelumnya. Untuk memperkuat kegiatan yang telah dilakukan, trainer menyampaikan materi tentang skema teoritis membangun inklusi sosial berbasis nilai.

Sesi wawasan tentang studi kebencian juga disampaikan oleh trainer, menyoroti pentingnya memahami asal-usul kebencian dan dampaknya terhadap inklusi sosial. Survei menunjukan bahwa kebencian bermula dari sikap curiga atau prasangka. Kecurigaan atau prasangka tersebut didasarkan pada faktor-faktor perbedaan seperti ras, etnis, agama, orientasi seksual, disabilitas, dan lain sebagainya.

Trainer membahas eksplorasi ide, dimulai dengan mengidentifikasi bahwa doktrin negatif tentang pihak lain berawal dari nilai, berkembang menjadi pola pikir, dan akhirnya menjadi keyakinan inti yang dapat menyebabkan intoleransi. Dalam sesi sharing, Mahmudin, salah satu peserta guru agama Islam, awalnya menduga guru agama lain  menyebarkan kebencian terhadap Islam, namun kecurigaannya hilang setelah berinteraksi dengan Gindo, peserta guru agama Katolik, yang justru mendorong muridnya mempelajari Islam.

Kebencian memiliki dampak yang sangat luas, misalnya terorisme. Bahkan tragedi kemanusiaan seperti genosida juga dipicu oleh kebencian terhadap kelompok lain. Oleh karena itu, studi mengenai kebencian dan intoleransi menjadi penting untuk disampaikan kepada para peserta agar para guru agama tidak menanamkan benih-benih kebencian kepada murid-murid mereka terhadap orang atau kelompok yang berbeda. Sesi keterampilan berbasis nilai ini mengajarkan cara sederhana membangun suasana positif, seperti mendengarkan, mengucapkan terima kasih, dan tersenyum. Peserta dibagi menjadi kelompok kecil untuk berlatih menjadi pendengar aktif, menggunakan metode pengulangan atau mirroring untuk memastikan pemahaman yang benar dan apresiasi yang tulus diharapkan agar nilai-nilai inklusi dapat diterapkan di lingkungan pendidikan. Dengan demikian, Pelatihan LOVE berhasil memberikan pencerahan kepada para guru agama tentang pentingnya inklusi dan toleransi dengan membekali mereka dengan keterampilan dan pengetahuan untuk menjadi agen perubahan di lingkungan pendidikan mereka dengan pendekatan berbasis inklusi.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content