Komitmen Maarif Institute Mendorong Kesadaran Nilai melalui Modul Pendidikan Karakter Berbasis Inklusi Sosial

Loading

oleh: Ryan Richard Rihi
editor: Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID

Keprihatinan mendalam terhadap kemerosotan karakter anak bangsa menggugah MAARIF Institute untuk turut andil memaksimalkan proses pendidikan karakter di Indonesia. Lembaga ini tengah menyusun sebuah modul pendidikan bertajuk “Living Our Values Everyday (LOVE): Penguatan Inklusi Sosial-Keagamaan untuk Guru-Guru Agama” yang diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi dan panduan bagi dunia pendidikan dalam negeri yang lebih inklusif dan menghargai nilai keberagaman.

Salah satu persoalan terkait karakter anak bangsa yang muncul adalah menguatnya narasi intoleransi dan maraknya pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Sekolah, melalui guru, justru menjadi salah satu pintu masuk paham intoleransi ini kepada para pelajarnya. Kegelisahan ini disuarakan oleh Abd. Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif MAARIF Institute, dalam sambutannya pada diskusi kelompok terfokus (FGD) yang digelar di Jakarta pada Senin (17/7/2023).

“MAARIF Institute pada 2017 telah mengadakan riset tentang intoleransi. Berdasarkan hasil riset tersebut, salah satu pintu masuk kasus intoleransi (terjadi) di sekolah-sekolah melalui guru,” ungkapnya.

Menurut Ghazali, hal ini menjadi dasar langkah MAARIF Institute dalam menyiapkan modul yang dapat memberikan pemahaman kepada guru-guru agama tentang toleransi yang tidak sekadar terkungkung dalam sekat-sekat warna kulit semata, tetapi juga pelbagai perbedaan lain, seperti penafsiran agama, dan sebagainya.

Sementara itu, ketika menyampaikan pengantar diskusi, Moch. Shofan dari MAARIF Institute menjelaskan posisi dari modul ini yang dimaksudkan untuk memperkuat nilai-nilai perdamaian.

“Modul ini adalah panduan untuk workshop yang berupaya untuk memperkuat nilai-nilai perdamaian dengan pendekatan Living Values Education (LVE). Upaya untuk memperkuat nilai-nilai perdamaian ini dilakukan melalui revitalisasi nilai-nilai pribadi dan sosial,” jelas Shofan.

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan paparan penulis modul. Pipit Aidul Fitriyana dari tim penulis menjelaskan bahwa materi dalam modul mencakup membangun suasana, membangun kesadaran nilai, inklusi sosial untuk diri sendiri dan orang lain, keterampilan membangun hubungan positif, strategi menuju inklusi sosial, hingga pengembangan diri terkait inklusi sosial.

Selain itu, modul juga dilengkapi dengan buku kerja yang memuat berbagai latihan dan refleksi seperti tiga asumsi nilai, menghidupkan nilai, nilai-nilai pribadi, menyadari nilai kehidupan, memikirkan perdamaian, toleransi dan perdamaian, dan sebagainya.

Diskusi ini juga mengundang dua orang penanggap (reviewer) untuk memberikan masukan mendalam terhadap modul yang sedang disusun. Rifah Zainani, praktisi Living Values Education, menyambut baik modul ini karena berbasis pada nilai-nilai universal. Namun, Rifah juga memberikan catatan agar pendidikan nilai universal ini harus terintegrasi dengan mata pelajaran yang lain.

Sementara itu penanggap lainnya, Agus Muhammad dari P3M (Pusat Pengembangan Pendidikan dan Masyarakat) memberikan usul berkaitan dengan pengukuran keberhasilan dari pelatihan yang akan digelar dengan modul yang tengah dikembangkan. 

“Untuk mengukur keberhasilan sebuah pelatihan dapat menggunakan alat ukur keberhasilan pelatihan KirkPatrick yang memiliki 4 aspek:  (1) reaction, melihat reaksi peserta; (2) learning, daya tangkap peserta terhadap materi yang disampaikan (3) behavior, perubahan sikap setelah peserta mengikuti kegiatan; (4) result, hasil dari pelatihan,” tegas Agus.

Tanggapan lain disampaikan oleh Sayyidatul dari SETARA Institute. Sayyidatul mempertanyakan terkait handout serta teknis pengukuran perubahan peserta dari pelatihan yang akan menggunakan modul ini. Selain itu, ia juga menanyakan luaran (output) yang diterima peserta pelatihan, berikut keberlanjutan pasca pelatihan ini berlangsung.

Di sisi lain, Rizka Antika dari INFID juga menyampaikan respons untuk dipertimbangkan dalam penyusunan modul. Rizka mempertanyakan aspek inklusivitas dan demografi dari peserta yang akan menerima pelatihan modul ini.

Menanggapi berbagai masukan, Fitriyana menegaskan bahwa handout akan disediakan terpisah dari modul utama, begitu pula dengan buku kerja. MAARIF Institute juga telah mempertimbangkan aspek inklusivitas dan demografi peserta dalam pelatihan yang akan diselenggarakan.

Diskusi ini menghasilkan banyak masukan dan tanggapan yang disampaikan oleh para peserta yang hadir. Masukan dan tanggapan ini menjadi dasar untuk penyempurnaan modul yang dikembangkan oleh MAARIF Institute. Modul ini menyasar sikap afektif, menyadari bahwa selama ini modul yang digunakan dalam pengembangan pembelajaran hanya menyasar ruang kognitif siswa, serta tidak kreatif dan interaktif.

Oleh sebab itu, dengan desain yang komprehensif dan partisipatif, MAARIF Institute berharap modul LOVE ini dapat diterima dengan baik oleh para guru agama dan memberikan kontribusi positif dalam memperkuat nilai-nilai perdamaian, inklusi sosial, serta keberagaman di lingkungan sekolah. Sebab, para guru memiliki peran penting dalam membentuk karakter generasi penerus bangsa yang inklusif, toleran, dan menghargai perbedaan. Sementara itu, MAARIF Institute juga berharap modul LOVE ini dapat diterima oleh kalangan yang lebih luas seperti tokoh agama, praktisi pendidikan, serta aktivis kemanusiaan. Dengan demikian, semangat untuk memperkuat nilai-nilai perdamaian, inklusi sosial, serta keberagaman dapat disebarluaskan secara masif di tengah masyarakat.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content