oleh : Ryan Richard Rihi
editor : Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID
Jakarta, 17 April 2023 – Perkumpulan MediaLink bekerja sama dengan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menyelenggarakan Editor Meeting dengan tema “Paparan Hasil Media Monitoring untuk Isu Moderasi Beragama dan Kebebasan Beragama & Trend Radikalisme di Masa Mendatang”
Sebagaimana tema kegiatan, agenda utama pertemuan ini untuk memaparkan hasil media monitoring terkait isu moderasi beragama dan kebebasan beragama serta tren radikalisme di masa mendatang. Selain itu, kegiatan ini juga bermaksud untuk melakukan profiling media, memberi informasi terkait tema di atas, hingga merumuskan solusi dan respons atas peran kaum muda dan perempuan dalam gerakan radikalisme.
Kegiatan ini dihadiri oleh 4 (empat) orang narasumber serta peserta dari berbagai latar belakang, termasuk perwakilan dari Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT), Majelis Ulama Indonesia (MUI), media massa, serta pemerhati isu keberagaman dan radikalisme.
Dalam sambutannya, Ahmad Faisol dari MediaLink menyampaikan bahwa penelitian media monitoring yang dilakukan terhadap sejumlah media online bertujuan untuk melihat bagaimana media menyoroti isu-isu moderasi beragama dan turunannya. Pemilihan media dilakukan secara selektif dan hanya menyertakan media yang sudah terdaftar dan terverifikasi di Dewan Pers.
Menurut paparan Ahmad berdasarkan hasil penelitian, terdapat fakta bahwa ada peningkatan pemberitaan terkait isu-isu moderasi beragama di setiap bulannya, dengan Desember menjadi bulan dengan peningkatan tertinggi. Pemberitaan ini juga banyak dipengaruhi oleh beberapa event yang sebagian besar diselenggarakan oleh Pemerintah.
Selaku narasumber pertama, Gaib Maruto Sigit, Pemimpin Redaksi MNC Trijaya dan Ketua Bidang Advokasi serta Pokja Moderasi Konten AMSI, menyoroti bahwa berita terkait keberagaman tidak terlampau tinggi dibandingkan dengan berita lainnya, kecuali saat terjadi kasus seperti pengeboman. Gaib juga mengetengahkan fenomena membahayakan oleh media yang belum terverifikasi akibat sikap yang diambil dengan meraup keuntungan melalui clickbait.
“Kita telah sepakat bahwa keberagaman tidak boleh dibuat clickbait, karena orang hanya akan membaca judulnya saja. Isu yang sensitif tidak boleh dibuat clickbait karena akan menjadi urusan yang panjang,” tegas Gaib.
Sementara itu, Erick Somba, Pemimpin Redaksi Validnews.com yang bertindak sebagai narasumber kedua, mengamati bahwa pemberitaan seputar isu moderasi beragama dan isu-isu lainnya masih didominasi oleh media-media Jakarta. Menurutnya, media-media di daerah cenderung mengambil posisi aman dan tidak mau terlibat dalam persoalan yang rawan konflik.
Erick juga menyoroti pentingnya kehadiran sosok yang netral dan dapat menyuarakan pesan keberagaman tanpa memihak salah satu kelompok tertentu. “Kita perlu ada sosok yang netral untuk menyuarakan agar tidak isu klise yang muncul,” ujarnya.
Senada dengan Erick, Wens Manggut selaku narasumber ketiga, Ketua AMSI, juga menyoroti ketiadaan aktor dalam masyarakat yang dapat menjadi sumber informasi bagi media. Selain itu, Wens juga melihat bahwa selama ini konsentrasi yang diberikan banyak berpusat pada berita bohong dan klarifikasinya. Hal ini, menurut Wens, menjadi suatu pola yang sebetulnya sudah dikenali masyarakat.
“Untuk isu seperti ini, source bagi media yang terbatas, karena level dari masyarakat yang ada speaker movement-nya yang tidak ada. Selama konsentrasi kita di hoaks, kita klarifikasi, makin banyak hoaks tersebut beredar. Hoaks dan hate speech masyarakat sudah tahu, selama polanya itu,” tegas Wens.
Pertemuan ini dilanjutkan dengan paparan dari Irjen Pol (Purn) Hamli, Dosen SKSG UI sekaligus perwakilan Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia Pusat. Hamli juga memberikan penekanan yang sama, yakni akan pentingnya menjaga netralitas dalam pemberitaan isu-isu sensitif seperti radikalisme dan terorisme. Menurut Hamli, kehadiran aktor yang dipandang netral dan dipercaya oleh masyarakat untuk mendiskusikan isu sensitif semacam ini sangat diperlukan. “Maka harus ada orang netral yang bisa berbicara terkait isu-isu sensitif di masyarakat, tapi dengan bobot yang berkualitas. Bisa saja orang tersebut tidak diposisikan sebagai kelompok tertentu, dalam artian dia bisa mewakili semua lapisan masyarakat,” ungkap Hamli.
Dalam kesempatan ini, narasumber juga membahas tren radikalisme di masa mendatang dan potensi ancaman dari kelompok-kelompok yang memiliki agenda tersembunyi. Salah satu perhatian utama adalah peran kaum perempuan dan kalangan muda yang disebut sebagai “benih subur” gerakan radikalisme. Terkait dengan hal ini, Irjen Pol (Purn) Hamli menekankan pentingnya literasi dan penyadaran terkait isu-isu radikalisme dan ekstremisme di masyarakat.
Narasumber lain, Erick Somba juga menyoroti situasi di mana sebagian media, ketika melakukan pemberitaan terkait terorisme, masih bernuansa glorifikasi terhadap aksi tersebut. Erick memberikan contoh mengenai keberpihakannya pada aksi terorisme lewat pemilihan diksi yang dipakai media dalam pemberitaan, hingga iklan-iklan yang ditampilkan. Kegiatan Editor Meeting ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk meningkatkan kualitas pemberitaan terkait isu-isu sensitif seperti moderasi beragama dan radikalisme. Dengan melibatkan berbagai pihak, mulai dari media massa, pemerintah, hingga tokoh agama dan masyarakat, diharapkan dapat tercipta pemahaman yang lebih komprehensif dan upaya bersama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.