Mengenal Konsep Islam Damai: Upaya PW Fatayat NU Jawa Timur dalam Agenda Moderasi Beragama untuk Pemimpin Islam Perempuan

Loading

Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID

Islam merupakan agama yang mengajarkan rahmatan lil alamin, namun dalam dekade terakhir realitas yang kontradiktif terjadi dalam bentuk radikalisme dan ekstremisme yang mengatasnamakan agama. Peristiwa radikalisme dan ekstrimisme ini juga telah melibatkan perempuan sebagai korban maupun aktor. Studi LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) menyebutkan sebelum tahun 2016 peran perempuan dalam gerakan radikalisme dan ekstrimisme yang mengarah pada terorisme hanya sebagai support system dan di balik layar. Setelah tahun 2016, peran perempuan bergeser secara signifikan menjadi aktor utama dalam gerakan radikalisme dan ekstrimisme yang mengarah pada terorisme[1].

Berdasarkan latar belakang tersebut, PW Fatayat NU Jawa Timur menginisiasi forum diskusi tentang pengenalan Islam Damai untuk Pemimpin Perempuan yang dilaksanakan pada 30 Oktober 2023 bertempat di di Aula Mbah Bisri, Jawa Timur. Dengan mengundang organisasi perempuan berbasis Islam dari berbagai aliran maupun pesantren yang memiliki aktor-aktor perempuan. Tujuan diskusi ini yaitu untuk membangun pemahaman yang seimbang tentang konsep Islam damai kepada komunitas perempuan dengan perspektif gender, inklusi sosial dan disabilitas. Kemudian menginternalisasi nilai-nilai moderat dalam Islam rahmatan lil alamin (kehadiran agama Islam di tengah kehidupan masyarakat yang mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia dan alam) sekaligus dapat mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata dengan memperhatikan aspek gender, inklusi sosial dan disabilitas.

Mengenal Moderasi Beragama

Dalam paparan materi, Aminah selaku Ketua Pimpinan Wilayah Muslimah Ahlul Bait Indonesia Jawa Timur menyampaikan bahwa moderasi beragama adalah kunci dalam menciptakan harmoni dan keserasian dalam kehidupan beragama. Moderasi berarti menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya dan bertindak sesuai dengan prinsip keadilan. Dalam konteks ini, moderasi juga berarti menolak ekstremisme dalam bentuk apa pun, baik itu dalam beragama maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam Syiah, konsep moderasi beragama tidak jauh berbeda dengan yang diajarkan oleh NU atau lima mazhab besar lainnya (Jakfari, Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafi’i). Mazhab tersebut memiliki titik temu yang sama dalam memahami ajaran Islam secara mendalam. Dalam Al-Quran, konsep Islam moderat atau wasathiyah islamiyah diungkapkan sebagai umat yang wasath, yaitu umat yang adil dan moderat. Tafsiran ini sama baik dalam pandangan Syiah maupun Sunni. Wasathiyah berarti tidak berlebihan dan tidak kekurangan, menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Hal Ini adalah prinsip keadilan dan moderasi yang menjadi dasar ajaran Islam. Aminah juga menjelaskan bahwa moderasi dalam beragama juga berarti menempatkan prioritas pada nilai-nilai universal seperti kasih sayang, toleransi, dan keadilan.

Untuk mengimplementasikan moderasi beragama, terdapat poin penting tentang, (1) nilai moral meliputi kasih sayang, toleransi, dan keadilan, (2) moderasi berarti pola pikir dan tindakan yang terbebas dari segala bentuk kekerasan dan ekstremisme, (3) memilih parameter yang tidak menimbulkan perdebatan, (4) memiliki referensi konsep dan implementasi, misalnya Muslimah Ahlul Bait meyakini bahwa moderasi beragama didasarkan pada ajaran Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.” Prinsip ini bisa menjadi pedoman dalam bermoderasi beragama.

“Dalam Islam, yang mendekatkan kita kepada Tuhan adalah kemanusiaan kita, bukan agama kita. Kita harus memanusiakan manusia, tidak melihat mereka dari agama mereka. Jika kita memandang orang lain sebagai saudara, kita bisa menciptakan hubungan yang lebih baik. Taqiyah, yaitu menyembunyikan keburukan dan menampakkan kebenaran, harus diterapkan dengan benar. Dengan cara ini, kita bisa menghindari konflik dan memperkuat kemanusiaan.” Jelas Aminah pada saat sesi tanya jawab dengan peserta.

Tantangan dan Strategi Implementasi Islam Damai untuk Pemimpin Perempuan dalam Mewujudkan Masyarakat Inklusi

Prof. Dr. Mufidah turut serta menjelaskan tantangan kepemimpinan perempuan yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Budaya patriarki dan penafsiran teks agama yang bias gender bisa menjadi hambatan bagi perempuan untuk mengambil peran kepemimpinan. Diskriminasi gender, stereotip, subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan berbasis gender masih menjadi tantangan yang dialami oleh perempuan. Di satu sisi, perubahan sosial menuntut partisipasi perempuan dalam kepemimpinan di masyarakat kontemporer.

Pemimpin perempuan memiliki kemampuan untuk menyentuh bidang-bidang yang tidak bisa dijangkau oleh laki-laki. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik berpengaruh pada keseimbangan gender. Pengalaman yang berbeda dari perempuan harus menjadi perhatian dalam kepemimpinan. Jika hal ini dilakukan di dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya, perempuan akan mampu mengawal praktek Islam yang inklusif, damai, dan rahmatan lil alamin.

Dalam pertemuan tersebut, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dengan fasilitator untuk membahas secara mendalam tentang pengalaman keberagaman yang dialami oleh peserta tentang pelarangan berekspresi kelompok tertentu dalam islam, pemetaan dampak dan diskusi terkait apa yang sudah dilakukan untuk meminimalisir dampak tersebut. 

Mukaromah, peserta dari perwakilan Fatayat NU Surabaya berbagi pengalaman dalam menghadapi diskriminasi dan penentangan dari kelompok NU di kampus, perihal perempuan yang ingin menyampaikan keinginannya atau menjadi pemimpin. Diskriminasi ini termasuk tidak diterima dalam lingkungan PMII dan klaim dari pesantren bahwa perempuan lebih baik di rumah.

“Saya juga mengalami penentangan bahwa perempuan tidak boleh membaiat, serta adanya pandangan bahwa laki-laki harus menjadi pemimpin bagi perempuan. Hal ini membuat semangat saya menurun dan merasa kerenggangan. Namun, penting bagi kita untuk tetap percaya pada kapasitas diri sendiri sebagai perempuan yang berdaya, yakin bahwa kita berada di jalan yang benar, dan menjaga silaturahmi agar hubungan tetap baik.” jelas Mukaromah.

Pada akhirnya, strategi implementasi Islam damai dalam mewujudkan masyarakat inklusif harus dimulai dari pemahaman yang benar tentang ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Islam mengajarkan untuk hidup dalam kedamaian dan keharmonisan dengan semua orang, tanpa memandang perbedaan. Dengan mengedepankan nilai-nilai inklusivitas, toleransi dan moderasi.

Diskusi yang diadakan oleh PW Fatayat NU Jawa Timur ini menegaskan kembali pentingnya moderasi beragama dalam menciptakan masyarakat yang damai dan inklusif. Peran perempuan adalah vital dalam menyampaikan pesan-pesan damai Islam, dengan pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam dan dukungan dari berbagai pihak, perempuan dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam menyebarkan nilai-nilai Islam yang penuh cinta dan kasih sayang.


[1] Tempo.co. (2021). LP3ES Catat Peran Perempuan dalam Jaringan Terorisme Meningkat. Diakses 7 Mei 2024.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content