Yayasan Inklusif Kembali Gelar Diskusi Penyusunan Protokol Pengelolaan Keberagaman Inklusif, Peserta Urun Masukan

Loading

oleh     : Ryan Richard Rihi
editor   : Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID

Dalam upaya mewujudkan kehidupan keberagaman yang inklusif di Indonesia, Yayasan Inklusif kembali menggelar focus group discussion (FGD) Penyusunan Kerangka Protokol Tata Kelola Keberagaman Inklusif. Kegiatan ini adalah FGD kedua yang diselenggarakan Yayasan Inklusif untuk mendiskusikan kerangka penyusunan serta demi mendapatkan referensi model dari protokol yang tengah dikembangkan.

Berlangsung di Kantor Yayasan Inklusif, Depok, FGD ini dihadiri oleh sejumlah lembaga yang tergabung dalam Konsorsium INKLUSI, di antaranya INFID, SETARA Institute, MediaLink, serta lembaga-lembaga non-pemerintah yang bergerak di isu keberagaman seperti Yayasan Satu Keadilan, Peace Leader, Rahima, dan CSAVE. Yayasan Inklusif juga mengundang para narasumber yang kompeten untuk mendiskusikan protokol ini, di antaranya Dr. Ahmad Suaedy (Yayasan Inklusif), Alamsyah M. Dja’far (Desantara Foundation), dan Dahlia (Komnas Perempuan).

Dalam sambutannya, Direktur Eksekutif Yayasan Inklusif, M. Subhi Azhari menegaskan bahwa protokol ini nantinya akan digunakan dalam gerakan-gerakan sosial, terutama di akar rumput dalam membangun keberagaman yang inklusif. Meski demikian, Subhi juga menambahkan bahwa tidak akan membatasi penggunaan protokol ini oleh aktor strategis lainnya.

Menyinggung mengenai situasi keberagaman di Indonesia yang masih dihadapkan pada sejumlah ancaman, termasuk persekusi yang dialami oleh kelompok minoritas tertentu, Subhi menegaskan tujuan FGD ini untuk menangkap masukan dan usulan kerangka protokol yang dikembangkan lembaganya ini.

“Ini tentu menjadi perhatian kita bersama dan dalam diskusi kali ini, kita ingin menggali apa saja yang kita butuhkan dan kerangka-kerangka seperti apa yang bisa kita susun dalam pembuatan protokol ini. Termasuk juga bahan-bahan atau referensi dalam pembuatan protokol tersebut,” ujarnya.

Selepas Subhi menyampaikan sambutannya, diskusi dilanjutkan dengan paparan narasumber. Bertindak selaku narasumber pertama, Dr. Ahmad Suaedy menyampaikan paparan dengan tajuk “Argumen Sosiologis dan Normatif Pengelolaan Keberagaman Inklusif.”

Dalam paparannya, Ahmad menyampaikan situasi politik terkini yang dihubungkannya dengan kelompok agama tertentu. Di sisi lain, Ia juga menyoroti adanya perubahan demografi, baik dalam masyarakat internasional, maupun dalam masyarakat Indonesia sendiri. Melalui penjelasannya ini, ia membawa peserta pada kesimpulan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari ranah publik dan diskusi mengenai hak asasi manusia.

“Menurut saya, kita harus beralih perspektif tentang agama di ruang publik. Jadi, dalam menegakkan human rights, tidak lagi menyingkirkan agama ke ruang privat,” papar Ahmad.

Ahmad juga mengajak peserta untuk melihat agama tidak hanya dari sisi konservatif, tetapi juga dari sisi transformatif. Dia mencontohkan konsep moderasi beragama yang mendoktrin para pelayan publik untuk tidak bersikap diskriminatif sebagai salah satu upaya transformatif yang dilakukan pemerintah.

Di sisi lain, kesadaran akan dinamika yang terjadi di negeri ini, menurut Ahmad, perlu dipertimbangkan dalam proses penyusunan protokol. Dengan demikian, diskusi dalam penyusunan protokol juga akan menyentuh bagaimana mengubah situasi negara saat ini.

Sementara itu, Dahlia dari Komnas Perempuan, selaku narasumber kedua memaparkan materinya dengan tajuk “Posisi Kelompok Rentan dan Langkah Penanganan Situasi Krisis dalam Pengelolaan Keberagaman Inklusif.”

Dahlia menyoroti perbedaan pemangku kepentingan dalam mengidentifikasi kelompok rentan dalam kerja-kerja yang dilakukan oleh lembaganya. Hal ini praktis membuat orang atau kelompok orang yang diklasifikasi sebagai bagian dari kelompok rentan makin beragam dan berlapis, mengisyaratkan bahwa identitas yang berlapis memungkinkan kerentanan yang berlapis pula.

“Jadi, untuk sekarang dalam konteks kelompok rentan tidak bisa dilihat tunggal tapi bersifat interseksi dan dengan demikian (kelompok rentan) juga bisa menghadapi diskriminasi yang berlapis,” ujar Dahlia.

Selain itu, Dahlia juga menjelaskan persoalan dari sisi normatif akibat adanya banyak regulasi yang bersifat diskriminatif. Dalam hal penanganan konflik yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan serta toleransi, negara dipandang juga masih memberikan kerentanan tambahan karena masih membelenggu atau mendiskriminasi kelompok rentan.

Selanjutnya, Alamsyah M. Dja’far dari Desantara Foundation memaparkan konsep-konsep kunci terkait keberagaman dan inklusi. Dia menegaskan bahwa inklusi dimulai dengan perlakuan yang setara, akses yang setara, serta kontribusi aktif untuk memperbaiki kualitas kehidupan manusia.

Dalam menyikapi pelanggaran kebebasan beragama, Dja’far menawarkan beberapa pendekatan seperti perubahan ideologi negara, reformasi hukum, penguatan modal sosial, serta peningkatan kapasitas negara. Menurutnya, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan bisa diatasi kalau pemerintahnya mampu untuk melaksanakan prinsip hak asasi manusia dengan baik.

Terkait kerangka operasional protokol, Dja’far menyarankan untuk menetapkan tujuan, sasaran, konsep-konsep kunci, prinsip-prinsip yang akan dikembangkan, langkah-langkah operasional, serta mekanisme pemantauan dan evaluasi.

“Gagasan protokol ini seharusnya dalam rangka membangun kapasitas negara untuk bisa mengatasi atau mendorong keberagaman yang inklusif,” sambung Dja’far.

Setelah seluruh narasumber menyampaikan materinya, FGD ini dilanjutkan dengan diskusi bersama peserta. Dalam sesi diskusi, berbagai lembaga yang hadir turut memberikan masukan. SETARA Institute menyoroti pentingnya protokol untuk mencegah kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok tertentu.

“SETARA punya namanya protokol keberagaman inklusif untuk pemerintah. Protokol ini didasari oleh kerap sekali, para pemangku kebijakan yang dalam pembuatan kebijakannya itu mendiskriminasi kelompok tertentu,” ungkap perwakilan Setara Institute.

Sementara itu, menyoroti tema protokol yang dipandang sangat luas, perwakilan RAHIMA mengusulkan pentingnya protokol yang lebih spesifik. Di sisi lain, perwakilan Peace Leader mengetengahkan pentingnya melibatkan sektor guru dalam pemanfaat protokol FGD ini memberikan beberapa masukan penting untuk perumusan protokol, seperti sasaran protokol yang harus jelas dan spesifik, protokol dibangun untuk meningkatkan kapasitas, memuat langkah-langkah penanganan pelanggaran, serta mekanisme pelaporan atau pengaduan.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content