oleh : Ryan Richard Rihi
editor : Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID
Pengalaman getir pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017 dan Pemilihan Presiden Indonesia tahun 2019 menjadi catatan kelam bagi demokrasi kita. Muncul dan berseliwerannya narasi-narasi bernuansa politik kebencian kala itu masih menyisakan kekhawatiran akan potensi terulangnya kejadian yang sama pada gelaran tahun politik mendatang. Hal ini tentu perlu dihindari, mengingat dampak buruknya pada praktik demokrasi yang seyogianya bersifat inklusif.
Dengan semangat mencegah situasi serupa terjadi, Yayasan Inklusif mengadakan diskusi publik yang mengangkat tema “Urgensi dan Peran Kaum Muda Milenial dalam Pencegahan Politik Kebencian di Tingkat Lokal”. Kegiatan yang diselenggarakan pada Jumat, 14 April 2023 di Kantor Yayasan Desantara Depok ini, menghadirkan peserta dengan latar belakang sebagai aktivis untuk isu kebebasan beragama dan berkeyakinan serta kaum muda lintas agama.
Yayasan Inklusif menyadari posisi strategis kaum muda sebagai aktor perubahan di zaman ini. Oleh karenanya, diskusi publik ini dimaksudkan untuk mencapai dua tujuan, yaitu (1) mendiskusikan pengalaman berbagai kelompok tentang dampak politik kebencian terhadap kohesi sosial di masyarakat, serta (2) memetakan peran kaum muda (lintas agama dan kepercayaan, perempuan, masyarakat adat dan kelompok disabilitas) dalam mengurangi dampak politik kebencian.
Membuka diskusi publik ini, Muhammad Subhi Azhari, Direktur Eksekutif Yayasan Inklusif, menjelaskan bagaimana politik kebencian menjadi persoalan yang muncul setiap berlangsungnya kontestasi politik.
“Politik kebencian selalu berkelindan tiap kali Indonesia memasuki tahun politik. Ujaran kebencian dan polarisasi yang terjadi menambah daya tegang di masyarakat, baik di pusat maupun di daerah, dan tak sedikit pula berujung pada konflik fisik,” imbuhnya.
Dalam kaitannya dengan peran kaum muda, Subhi melihat kaum muda sebagai aktor potensial untuk menangkal potensi politik bernuansa kebencian. Meski begitu, Ia juga mengakui adanya tantangan yang muncul dalam upaya pelibatan kaum muda.
“Meskipun demikian, ada tantangan bagi kaum muda milenial, terutama sebagian mereka agak antipati terhadap politik,” ungkap Subhi. Diskusi hari ini menjadi kesempatan untuk menilik potensi dan tantangan tersebut.
Diskusi publik ini kemudian dilanjutkan dengan paparan narasumber. Didapuk sebagai narasumber pertama, Pendeta Obertina M. Johanis, pengurus Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati), menjelaskan salah satu tantangan sosial yang kerap dihadapi saat ini adalah masih tingginya prasangka dan kecurigaan terhadap kelompok yang berbeda. Kondisi ini pula yang menjadi pemantik masifnya hoaks dan ujaran kebencian yang bersirkulasi di media sosial.
Merespon tantangan tersebut, Ia membagikan pengalamannya mendampingi kaum muda yang aktif meretas aksi-aksi intoleran melalui gerakan JAKATARUB (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama) di Bandung. “Kegiatan ini jelas memberi ruang bagi kelompok yang berbeda untuk bertemu dan berdiskusi. Menghilangkan sekat-sekat antarmereka yang dibangun oleh kelompok yang memakai politik kebencian,” tegas Pendeta Obertina mengapresiasi inisiatif JAKATARUB.
Dari pengalamannya ini, Pendeta Obertina menggarisbawahi ada empat kekuatan dan peran kaum muda, yakni (1) membuka ruang-ruang perjumpaan lintas iman, (2) membangun persahabatan lintas iman, (3) menjadi motor penggerak advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta (4) melakukan advokasi melalui media sosial.
Bagi Pendeta Obertina, menjadikan kaum muda sebagai aktor aktif dalam upaya menjawab tantangan politik kebencian adalah keniscayaan, terutama sebagai respons akan antipati pada kaum muda sendiri yang melihat isu ini sebagai persoalan dan tanggung jawab generasi di atasnya.
Melanjutkan paparan Pendeta Obertina, narasumber kedua, Subairi Muzakki juga mengelaborasi mengenai bagaimana kaum muda dapat berperan dalam merespons politik kebencian. Direktur LSPI UIN Jakarta ini menuturkan 6 peran mendasar yang dapat dilakoni kaum muda, di antaranya, (1) pendidikan dan kesadaran, (2) advokasi untuk kebijakan publik yang inklusif, (3) menggunakan media sosial dengan bijaksana, (4) membangun hubungan antarkelompok, (5) menentang kekerasan dan diskriminasi, serta (6) mengambil tindakan nyata.
Subairi kembali menekankan apa yang sebelumnya disampaikan Pendeta Obertina, yakni terkait bagaimana kaum muda dapat memanfaatkan media sosial sebagai alat dalam merespons politik kebencian.
“Media sosial adalah alat yang kuat bagi pemuda untuk memperjuangkan perubahan sosial. Mereka dapat menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan yang positif tentang inklusi, menghadapi retorika kebencian secara online, dan mempromosikan pemahaman antarkelompok yang lebih baik,” tegas Subairi.

Setelah paparan kedua narasumber, diskusi ini kemudian dilanjutkan dengan tanggapan dari seluruh peserta yang hadir. Salah satu peserta yang menyampaikan responsnya adalah Qomarulaily dari MediaLink yang menyebut bahwa dari segi usia, kaum muda mendominasi lebih dari 50% daftar pemilih. Namun, hal ini masih dibarengi oleh antipati kaum muda akibat citra partai politik yang buruk.
Tanggapan serupa juga disampaikan oleh Nurhidayat dari Desantara. Ia menyebutkan bahwa minat kaum muda pada politik masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan isu lain seperti ekonomi dan kesejahteraan.
“Artinya, ada jarak yang lebar antara anak muda dan politik. Karena itu, untuk menarik anak muda terlibat aktif dalam isu politik kebencian ini, kalau diukur angka rendah sekali,” sambung Nurhidayat. Hal ini disampaikannya sebagai pertimbangan dalam upaya pelibatan kaum muda.
Proses diskusi yang sangat menarik ini melahirkan kesepahaman akan signifikansi peran kaum muda dalam mengentaskan persoalan politik kebencian. Moderator diskusi publik ini, Laely Mukhsin, menyimpulkan pertemuan ini dengan melihat bahwa sekalipun ada tantangan dalam proses pelibatan kaum muda secara bermakna, termasuk karena apatisme kaum muda sendiri akan isu-isu politik, upaya ini dapat dicapai dan dimaksimalkan dengan terus membangun ruang perjumpaan antarkaum muda lintas agama dan iman. Selain itu, kerja-kerja untuk menguatkan identitas nasional juga dipandang perlu dalam menjawab tantangan ini.