Bumikan Islam Damai, Fatayat NU Jawa Timur Dorong Perempuan Jadi Agen

Loading

oleh: Ryan Richard Rihi
editor: Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID

Mencermati situasi Islam yang kerap diidentikan dengan tindakan terorisme dan ekstremisme  menimbulkan kebutuhan mendesak untuk mengangkat narasi positif tentang Islam yang damai. Ditambah lagi, persoalan ini diperparah dengan adanya keterlibatan perempuan sebagai aktor yang aktif berpartisipasi dalam melancarkan aksi teror.

Atas kesadaran akan situasi ini, Fatayat NU Jawa Timur lantas menginisiasi diskusi yang bertujuan untuk memberikan pemahaman yang seimbang tentang konsep Islam damai serta pengetahuan akan praktik damai Islam kepada komunitas perempuan.

Sebanyak 37 peserta, terdiri atas 28 perempuan dan 9 laki-laki, menghadiri diskusi Seri Pengenalan Islam Damai di Kantor Bakesbangpol Provinsi Jawa Timur. Diskusi yang dilaksanakan pada Kamis, 25 Mei 2023 ini mengangkat tema “Islam Agama Damai: Menelusuri Konsep dan Kesejarahan Praktik Damai Islam di Indonesia”.

Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong peserta agar menginternalisasi nilai-nilai wasathiyah dalam Islam rahmatan lil alamin sertameningkatkan kapasitas pemimpin perempuan sebagai agen perdamaian. Dalam pelaksanaannya, peserta diajak untuk memperhatikan aspek gender, disabilitas, dan inklusi sosial.

Dalam sambutannya, Dewi Winarti, Ketua Fatayat NU Jawa Timur, menyesalkan makin strategisnya pelibatan perempuan dan anak dalam aksi-aksi terorisme. “Hari ini perempuan dan anak menjadi martil strategis untuk melakukan pengeboman dan peledakan di beberapa tempat,” jelas Dewi.

Oleh karenanya, ia berharap agar diskusi yang diselenggarakan ini menjadi peluang untuk  untuk membangun nilai-nilai toleransi di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.

Diskusi ini terbagi dalam dua sesi dengan menghadirkan dua narasumber yang kompeten. Pada masing-masing sesi, diskusi dibuka dengan paparan narasumber, diikuti dengan sesi tanya-jawab. Kemudian, sesi dilanjutkan dengan diskusi dalam kelompok kecil yang didampingi oleh satu fasilitator.

Pada sesi pertama, Kyai Imam Nakha’i, M.HI, Dosen Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo dan Komisioner Komnas Perempuan, bertindak sebagai narasumber. Dalam paparannya, Kyai Nakhai mengetengahkan gagasan bahwa pada dasarnya Islam bersifat damai.

Selain itu, Kyai Nakhai juga menyebut bahwa aksi teror tidak hanya terjadi oleh orang atau sekelompok orang yang mengklaim memiliki paham Islam, tetapi juga dari kelompok agama lain. Hanya saja, karena Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, maka Islam yang tertuduh ketika aksi terorisme terjadi.

“Kebetulan di Indonesia mayoritas Islam. Bila terjadi kasus teroris yang tertuduh adalah Islam. Sehingga, kita perlu membenahi dengan moderasi seperti ini,” tegas Kyai Nakhai.

Secara khusus menyinggung peran perempuan, Kyai Nakhai menjelaskan bahwa perempuan justru memiliki pengaruh dan potensi besar sebagai agen perdamaian. Berlatar belakang pengamatannya pada situasi konflik di Ambon, beliau menekankan kekuatan perempuan untuk menjadi katalisator penyebaran narasi perdamaian.

“Tapi, ibu-ibu yang biasanya kita anggap banyak omong itu dalam situasi konflik bisa mengambil peran penting, berbeda dengan bapak-bapak yang tidak banyak omong. Ternyata, di Ambon, ibu-ibu yang notabene banyak ngomong ini penting dan ini digunakan sebagai peredam konflik dan untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian dalam ruang-ruang tersebut,” ungkap Kyai Nakhai.

Meski demikian, status sebagai perempuan juga dicemaskan sebagai faktor yang mendukung dilibatkannya seseorang dalam aksi teror. “Karena keibuan dan kelemahlembutan mereka menjadi modal. Oleh karena itu, terorisme banyak melibatkan perempuan. Hasil analisisnya adalah karena perempuan tidak dicurigai,” kata Komisioner Komnas Perempuan ini.

Pada sesi kedua, diskusi diawali dengan paparan dari Dr. Nyai Hj. Udji Asiyah. Beliau menjelaskan posisi strategis Indonesia sebagai lokus kemajemukan. Baginya, kemajemukan ini harus dijaga, bukan justru dijadikan alasan perpecahan.

“Indonesia adalah lokus klasik bagi konsep masyarakat majemuk yang tidak dimiliki oleh dunia. Mari kita terus menjaga persatuan dan kesatuan. … Keberagaman di Indonesia jangan menjadi alasan untuk perpecahan melainkan menjadi kohesivitas,” ujarnya.

Udji Asiyah juga berbicara tentang peluang dan tantangan perempuan sebagai agen Islam damai. Dalam presentasinya, beliau mengurai mengenai perempuan-perempuan dengan peran penting yang dituliskan dalam Al-Qur.’an.

Selama diskusi berlangsung, peserta kegiatan secara aktif menyampaikan pertanyaan dan tanggapan kepada para narasumber. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator juga berjalan dengan interaktif.

Salah satu peserta, Febrianti, perwakilan Jaringan Gusdurian Sidoarjo, sempat menceritakan pengalaman komunitasnya mengunjungi korban pengeboman gereja di Surabaya. Dalam perjumpaan dengan korban tersebut, Ia tercengang karena salah satu korban mengaku trauma pada muslimah berkerudung pasca kejadian tersebut.

Hal ini diceritakannya untuk menekankan pentingnya kehadiran dan perjumpaan lintas iman. “Bukan hanya persoalan kita mensyiarkan Islam damai, tetapi bagaimana secara sosial kita hadir bersebelahan dengan lintas iman, itu bisa aman dan nyaman,” tegas Febrianti.

Harapannya, diskusi ini membantu mengarusutamakan Islam rahmatan lil alamin dalam masyarakat muslim. Pemahaman akan Islam damai kiranya dapat berkontribusi pada upaya untuk menumbuhkan sikap inklusif dalam beragama serta menghargai perbedaan dan menjunjung toleransi antar agama, suku dan budaya. Perempuan berpotensi besar sebagai agen yang dapat mengajarkan dan menyebarkan Islam damai dalam lingkup keluarga hingga masyarakat secara luas.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content