Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID
Partisipasi perempuan dalam politik merupakan isu global yang masih menghadapi tantangan besar. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir, keterwakilan perempuan dalam parlemen Indonesia hanya berkisar antara 17-21%. Di tingkat provinsi, keterwakilan perempuan dalam parlemen Jawa Barat pada tahun 2022 hanya mencapai 21,85%.
Namun, situasinya menjadi lebih serius di tingkat lokal. Kota Tasikmalaya, misalnya, menunjukkan angka keterwakilan perempuan yang sangat rendah, hanya sebesar 6,67%. Begitu juga dengan Kabupaten Tasikmalaya, yang hanya mencapai 16%. Angka-angka ini jauh dari target minimal 30% yang diharapkan.
Temuan dari Komisi Nasional Perempuan menyoroti bahwa Tasikmalaya menjadi daerah yang memproduksi kebijakan diskriminatif yang berdampak buruk pada perempuan dari kelompok ekonomi lemah dan minoritas beragama. Implikasinya, hal ini dapat mengancam ketahanan nasional Indonesia.
Menanggapi situasi tersebut, INFID dan PW Fatayat NU Jawa Barat sebagai lembaga yang memiliki perhatian khusus dalam kajian kebebasan beragama dan berkeyakinan, pemenuhan hak asasi manusia dan komitmen kebangsaan, mengadakan serial diskusi komprehensif tentang “Harmoni dalam Perbedaan; Peran Politik Perempuan untuk Persatuan Bangsa” yang diselenggarakan pada 1 Februari 2024 di Kota Tasikmalaya.
Diskusi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang peran politik perempuan dalam perspektif agama, sosial, dan budaya. Selain itu, diharapkan diskusi ini juga dapat mendorong partisipasi perempuan dalam membangun perdamaian di tahun politik, dengan menyadari bahaya politik identitas yang dapat merusak persatuan bangsa.
Diskusi dihadiri oleh tiga narasumber yaitu Drs. Saepudin, M.Pd yang memaparkan tentang “Tantangan dan Bahaya Politik Identitas bagi Persatuan Bangsa”. Kemudian Salman Hakim S.Sy., M.H menjelaskan tentang “Politik Perempuan dalam Perspektif Agama, Sosial dan Budaya”. Diakhiri dengan Risma Hikmawati M.Ud yang menerangkan “Peran Politik Perempuan dalam Persatuan Bangsa”.
Tantangan dan Bahaya Politik Identitas bagi Persatuan Bangsa
Drs. Saepudin, M.Pd menjelaskan bahwa politik identitas telah menjadi salah satu isu krusial yang perlu kita perhatikan, terutama dalam konteks Pemilu 2024. Tantangan politik identitas mencakup berbagai hal, mulai dari polarisasi masyarakat, diskriminasi, lemahnya demokrasi dan institusi politik, manipulasi politik hingga memperkuat ekstremisme dan radikalisme. Politik identitas yang ekstrem bisa memicu konflik sosial, mengabaikan isu-isu universal yang penting bagi seluruh masyarakat, serta menimbulkan stigmatisasi dan marginalisasi terhadap kelompok-kelompok minoritas. Lebih lanjut, politik identitas juga dapat memupuk kebencian dan permusuhan antar kelompok sehingga menimbulkan resiko atau bahaya untuk keamanan negara.
L.A. Kauffman yang pertama kali menjelaskan hakikat politik identitas yang secara substantif, politik identitas dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara[1]. Permasalahan tersebut bisa teratasi dengan mengupayakan perubahan paradigma politik identitas menjadi politik kebangsaan. Drs. Saepudin, M.Pd menegaskan bahwa “Politik kebangsaan ini tidak lagi mengedepankan ego sektoral atau kelompok, tetapi berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara yang mengakui keberagaman sebagai kekuatan.”
Selanjutnya membangun politik kebangsaan yang inklusif dengan langkah-langkah konkret yaitu, (1) mempromosikan inklusivitas melalui menciptakan lingkungan yang menerima keberagaman sebagai keniscayaan, (2) Kemudian penting juga untuk mendorong komunikasi dan pemahaman antar kelompok yang berbeda, (3) dan memperkuat kesadaran akan persamaan dan persatuan dalam masyarakat.
Politik Perempuan dalam Perspektif Agama, Sosial dan Budaya
Salman Hakim S.Sy., M.H menyampaikan bahwa peran perempuan dalam politik bukan lagi sekadar teori atau upaya mencari legitimasi hukum. Kini telah menjadi keharusan dan kebutuhan yang tak terhindarkan. Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga, dan lingkungan, perempuan memegang peran sentral. Hal ini tercermin dalam syair yang diungkapkan oleh Hafidz Ibrahim, di mana ia menyatakan bahwa ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak, keluarga, dan lingkungan.
Dalam konteks Al-Qur’an, banyak ayat yang menggambarkan posisi dan peran perempuan, baik dalam rumah tangga maupun dalam masyarakat. Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa perempuan memiliki peran yang penting dan bermakna dalam berbagai aspek kehidupan.
Konsep dasar kepemimpinan perempuan juga telah diakui dalam Al-Qur’an yang mana manusia adalah pemimpin, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Kepemimpinan perempuan tidak dilarang dalam Islam; sebaliknya, Al-Qur’an menekankan bahwa setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Namun, terdapat ayat yang sering dijadikan polemik, seperti Surah An-Nisa ayat 34. Dalam ayat ini, terdapat ungkapan “Qawwamun” yang sering diinterpretasikan secara keliru sebagai superioritas laki-laki atas perempuan. Namun, pemahaman yang lebih mendalam menunjukkan bahwa ayat ini berkaitan dengan tanggung jawab laki-laki. Selain itu, terdapat pula hadis-hadis yang sering dikutip untuk menentang kepemimpinan perempuan. Contohnya, hadis yang berkaitan dengan suksesi pada Raja Kisra di Persia. Namun, konteksnya sangat spesifik dan tidak dapat digeneralisasi untuk semua masyarakat.
“Rasulullah SAW itu adalah seorang Feminis, karena dia membela ketertindasan perempuan saat masa Jahiliah. Feminisme dalam Islam menurut saya merupakan sebuah konsep yang menjembatani antara konsep keadilan yang mempengaruhi penafsiran dominan terhadap syariah dan hukum hak asasi manusia. Islam memiliki kesesuaian dengan modernitas dan pemahaman manusia terhadap teks-teks Islam merupakan suatu yang lentur, dapat diinterpretasikan untuk mendorong pluralisme, HAM, demokrasi, dan kesetaraan gender” Jelas Salman pada sesi tanya jawab ketika terdapat peserta yang menanyakan tentang perlukan menerapkan paham feminisme.
Dalam perspektif politik, Al-Qur’an juga menegaskan kemandirian perempuan, baik secara ekonomi maupun politik. Perempuan memiliki peran yang penting dalam memimpin, seperti yang tergambar dalam kisah Ratu Bilqis. Diskusi tentang peran perempuan dalam politik tidak hanya berhenti pada ranah teori. Hal ini harus diimplementasikan dalam praktik nyata, di mana perempuan didorong untuk berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan negara.
Peran Politik Perempuan dan Persatuan Bangsa
Risma Hikmawati M.Ud menyatakan bahwa jika representasi perempuan di politik tinggi maka kebutuhan dan kepentingan perempuan diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan, sehingga keterlibatan perempuan dalam politik tidak hanya untuk kesetaraan gender tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap pembangunan, salah satunya pembangunan perdamaian untuk kesatuan bangsa. Keterwakilan perempuan terlibat dalam politik mampu membangun dinamika pendekatan yang berbeda dalam membuat kebijakan, khususnya pada isu-isu sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial yang dapat membantu mengarahkan agenda nasional ke arah yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Fakta dari Global Gender Gap Report 2023, Indonesia berada di peringkat 87 dari 146 negara di dunia pada tahun 2023 yang mana salah satu indikatornya yaitu indeks pemberdayaan perempuan di bidang politik senilai 0,181 atau di bawah rata-rata global dengan status paling buruk[2]. Permasalahan partisipasi perempuan dalam politik sebenarnya sudah disadari oleh banyak pihak. Hal tersebut kemudian disadari oleh CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) melalui Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang tertuang pada Pasal 7 yakni, Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan kemasyarakatan negaranya, dan khususnya menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki[3].
Risma juga mengatakan langkah-langkah upaya dalam mendorong partisipasi perempuan dalam politik memerlukan berbagai strategi untuk membuka akses diantaranya. (1) melakukan pendidikan politik, (2) memberikan dan menempati posisi strategis pengambilan keputusan, (3) aktif terlibat dalam organisasi dan partai politik, dan (4) melakukan advokasi kepada partai politik serta mengkaderkan anggota partai politik perempuan.
[1] Maarif, AS. (2012). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia. Jakarta: Democracy Project
[2] Pratiwi, F.B (2023). WEF: Kesetaraan Gender Indonesia Tak Berubah pada 2023. Diakses 5 Mei 2024. https://dataindonesia.id/varia/detail/wef-kesetaraan-gender-indonesia-tak-berubah-pada-2023
[3] Putra, Hendra Kurnia. (2009). Hak Perempuan Dalam Partisipasi Politik Menurut Pasal 7 Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women Dan UU No.10 Tahun 2008 Tentang pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DRPD. Malang: Universitas Brawijaya.