Aktivasi Jurnalistik Inklusif untuk Pemberitaan Moderasi Beragama

Loading

Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID

Era digital telah membawa berbagai kemajuan teknologi, memudahkan banyak aspek kehidupan, termasuk interaksi antar individu. Kemudahan berinteraksi ini dimanfaatkan oleh banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat, terlihat dari tingginya jumlah pengguna media sosial. Namun, kemudahan ini tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga menciptakan ruang yang berdampak negatif. Akses yang mudah dan cepat menyebarkan informasi tanpa penyaringan, memungkinkan maraknya penyebaran ujaran kebencian, perundungan siber, dan kekerasan yang dapat melanggar kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Penelitian tentang kajian ujaran kebencian di media sosial menunjukan bahwa di media sosial Facebook, ujaran kebencian paling banyak ditemukan dalam kategori penistaan agama sebesar 25 persen, diikuti oleh penyebaran berita bohong (hoax) sebesar 20 persen, pencemaran nama baik dan provokasi masing-masing sebesar 15 persen, dan yang paling sedikit adalah ujaran kebencian kategori menghasut sebesar 5 persen[1]. Di tambah diskusi keagamaan di media sosial cenderung didominasi oleh narasi-narasi konservatif yang cenderung jauh dari moderasi dan eksklusif[2].

Dari permasalahan yang ada, PW Fatayat NU Jabar bekerja sama dengan INFID menginisiasi kelas pelatihan jurnalistik. Kegiatan kelas pelatihan jurnalistik ini melibatkan 13 orang dari berbagai lembaga pegiat media. Serta 27 orang perwakilan Fatayat dari 27 kota/kabupaten se-Jawa Barat yang aktif dalam pengelolaan media, baik media lembaga maupun media yang bersifat individu sebagai influencer. Dengan tujuan untuk menumbuhkan pemahaman yang kritis, memilah konten intoleran dan membuat konten yang lebih moderat sebagai kontra narasi negatif.

Kelas Pelatihan Jurnalistik dilaksanakan dengan 11 kali pertemuan secara daring pada 7 September 2023 sampai 12 Oktober 2023. Terdapat 10 sesi dengan topik yang berbeda-beda. Sesi pertama membahas tentang moderasi beragama, sesi kedua yaitu moderasi beragama dan berita, sesi ketiga membahas peran jurnalis dalam moderasi beragama, sesi keempat tentang etika dalam peliputan agama, sesi kelima mengenai jurnalisme lintas agama, sesi keenam tentang menangani konflik berbasis agama dalam berita, di lanjut di sesi ketujuh tentang jurnalisme berperspektif perempuan, sesi kedelapan mengenai melawan diskriminasi gender dan jurnalisme, sesi kesembilan yaitu praktik jurnalisme yang baik dan ditutup dengan sesi kesepuluh tentang rencana tindak lanjut yang akan dilakukan oleh peserta.

Aktivasi Jurnalistik Inklusif: Membangun Etika Jurnalistik dalam Peliputan Keberagaman

Dalam pelatihan tersebut penyelenggara menghadirkan narasumber dari berbagai bidang dari setiap sesi kelas untuk berbagi pengalaman dan materi tentang jurnalistik inklusif. Salah satu narasumber berbicara tentang pendekatan empati dalam pemberitaan kebebasan beragama. Hal ini secara moderat dapat memberikan perspektif yang berbeda dan lebih konstruktif. Misalnya, dalam situasi konflik atau musibah bencana alam, media dapat memilih untuk menyoroti masyarakat yang berhasil bertahan, dengan fokus pada korban yang selamat. Jurnalistik inklusif berupaya memberikan ruang bagi keragaman suara dalam media, sementara moderasi beragama mengakui dan menghormati keberagaman. Ini memungkinkan media untuk membangun narasi yang inklusif dan mempromosikan perdamaian di masyarakat

Dalam dunia jurnalistik, etika merupakan landasan utama yang harus dipegang teguh oleh setiap jurnalis. Etika jurnalistik tidak hanya berlaku secara umum, namun juga mengikat dalam setiap sektor peliputan, termasuk ketika mengangkat isu keberagaman. Mengingat pentingnya menghindari penyebaran informasi yang merugikan dan berpotensi mendiskreditkan kelompok minor, pada November 2022 lalu, Dewan Pers menerbitkan pedoman khusus mengenai etika peliputan keberagaman.

Pedoman ini dirilis sebagai respons terhadap berbagai kasus pemberitaan yang cenderung merugikan dan mendiskreditkan kelompok minor. Banyak media massa yang, dalam prosesnya, tanpa disadari malah menimbulkan provokasi dan menyudutkan pihak tertentu. Kini, dengan adanya pedoman ini, diharapkan setiap jurnalis dapat lebih berhati-hati dalam mengangkat isu-isu keberagaman, baik itu agama, suku, gender, maupun kelompok minor lainnya.

Peliputan dalam jurnalisme bukanlah sekadar merangkai kata-kata, namun merupakan serangkaian kegiatan yang melibatkan proses yang matang. Dari perencanaan hingga publikasi, setiap tahap harus dilakukan dengan penuh pertimbangan dan mematuhi etika jurnalistik. Dengan demikian, jurnalisme akan menjadi instrumen yang memperkuat nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.

Salah satu aspek penting dalam peliputan keberagaman adalah pemilihan diksi yang tepat. Jurnalis harus memilih kata-kata yang tidak provokatif dan menghindari prasangka dalam penyampaiannya. Judul-judul sensasional juga harus dihindari karena dapat memicu konflik dan merugikan kelompok yang bersangkutan.

Dalam peliputan keberagaman, jurnalis juga harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang isu-isu keberagaman dan hak asasi manusia. Pemahaman ini menjadi bekal dalam menyampaikan informasi secara akurat dan bertanggung jawab. Selain itu, jurnalis juga harus memperhatikan sensitivitas dan dampak yang mungkin timbul dari pemberitaan tersebut.

Bagus Fuji Panuntun, seorang jurnalis Kompas.com, menekankan bahwa jurnalis harus mempertimbangkan nilai kepentingan publik sebelum mengangkat sebuah berita konflik. Misalnya, jika ada dua organisasi masyarakat yang sudah lama bermusuhan, penting untuk mengevaluasi apakah berita tersebut memiliki dampak positif atau justru memperburuk situasi. Fuji menyarankan agar jurnalis tidak memperbesar konflik, tetapi lebih fokus pada informasi yang benar-benar penting dan relevan bagi publik luas. Framing yang dipilih harus menghindari pengkubuan dan mengutamakan dampak yang tidak memanaskan suasana.

Fuji juga menjelaskan pentingnya menyoroti sisi positif dari hubungan antar kelompok. Dalam beberapa kasus, meskipun konflik terjadi di satu wilayah, di daerah lain kelompok tersebut mungkin saling membantu dan menunjukkan toleransi. Ketika memberitakan konflik, sebaiknya poin-poin tentang kerjasama dan toleransi inilah yang diangkat. Sebagai contoh, alih-alih menekankan aksi melempari tempat ibadah, berita bisa lebih fokus pada aspek solidaritas dan tolong-menolong antara kelompok yang berseteru di wilayah lain.

Langkah verifikasi sebelum mempublikasikan informasi juga tidak bisa diabaikan. Jurnalis harus memastikan kebenaran informasi yang disampaikan dan menghindari penyebaran informasi palsu atau tidak terverifikasi. Hal ini akan menghindarkan penyebaran berita yang menyesatkan dan merugikan masyarakat.

Terakhir, jurnalis juga harus menghormati privasi individu dalam pemberitaan. Identitas korban dan pelaku harus dilindungi agar tidak menjadi korban lagi dari serangan publik. Selain itu, jurnalis juga harus menjaga keseimbangan dalam memberikan informasi.

Dengan mengikuti etika jurnalistik yang benar, diharapkan peliputan keberagaman dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Jurnalis memiliki peran yang besar dalam membangun pemahaman yang lebih baik tentang keberagaman dan menghormati hak-hak setiap individu. Itulah yang menjadi tugas dan tanggung jawab utama dalam menjalankan profesi jurnalistik.

Jurnalistik dari Perspektif GEDSI

Jurnalistik inklusif bertujuan untuk memberikan ruang bagi keberagaman suara dalam media, sehingga tidak hanya satu sudut pandang yang mendominasi. Lebih jauh lagi, pendekatan ini merangkul seluruh elemen dan subjek tanpa terkecuali. Dari perspektif GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion), jurnalistik inklusif menempatkan kelompok rentan setara dengan kelompok lain dalam berbagai isu, termasuk kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dalam jurnalistik inklusif, isu-isu yang dihadapi kelompok rentan diangkat dengan bijak, tanpa memojokkan mereka sebagai kelompok lemah atau terasingkan. Hal ini memastikan bahwa narasi yang dibangun dalam media lebih adil dan representatif.

Jurnalistik inklusif juga menghindari melabeli individu berdasarkan agama, orientasi seksual, atau disabilitas mereka. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan liputan yang menghormati dan mencerminkan keragaman masyarakat, menghindari stereotip yang dapat merugikan atau memperkuat stigma. Dengan demikian, jurnalistik inklusif berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih inklusif dan setara.

Referensi

Abdullah, Najwa, and Mohamed Nawab Mohamed Osman. (2018). Islamisation in the Indonesian Media Spaces New Sites for a Conservative Push. Journal of Religious and Political Practice 4, no. 3, hal,  214–32

Ningrum, Suryadi, dan Chandra Wardhana. (2018). Kajian Ujaran Kebencian di Media Sosial. Jurnal. Jurnal Ilmiah Korpus, Volume II, Nomor III, hal. 244

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content