Oleh: Tia Pramesti (PC Fatayat NU Kab. Tasikmalaya)
Baru kali ini saya mendengar suara yang lebih lantang dari biasanya. Suara yang datang dari sudut-sudut yang sering kali diabaikan, dari mereka yang selama ini berada di pinggiran: kelompok minoritas agama yang terpinggirkan. Dalam setiap kalimat yang mereka ucapkan terbersit keberanian dan keteguhan, seolah mereka sudah menunggu momen ini sepanjang hidup mereka. Mereka berbicara bukan hanya untuk didengar, tetapi juga untuk diakui keberadaannya, untuk dihormati hak-haknya, untuk meraih keadilan yang selama ini mereka impikan.
Ini adalah kali keempat saya mengikuti rangkaian kegiatan inklusi kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diinisiasi oleh PW Fatayat NU Jawa Barat di Tasikmalaya, dan saya selalu mendapatkan pengalaman yang luar biasa dan penuh makna. Di kali keempat ini, saya menemukan suasana yang penuh kehangatan dan keterbukaan. Saya merasakan bahwa kami sudah benar-benar menjadi saudara yang bisa saling menaruh kepercayaan dan berbagi pengalaman sulit satu sama lain. Kami berdialog seakan sedang menyembuhkan luka lama akibat cerita kelam kampung halaman kami di masa lalu.
Hari ini bukanlah hari kemarin. Tasikmalaya yang dulu berbeda dengan Tasikmalaya sekarang. Kota ini telah meninggalkan cerita kelam dan pertikaian mengerikan di masa lalu. Meskipun prasangka dan tindakan jahat terhadap kelompok yang dianggap berbeda masih ada, seperti beberapa jemaat Ahmadiyah yang pernah mengalami pencurian harta akibat keyakinan keliru bahwa harta dan darah mereka halal untuk diambil, kondisi di Tasikmalaya kini tidak separah dulu. Hari ini, tidak ada gereja yang dibakar, tidak ada kaca masjid yang dipecahkan akibat lemparan batu.
Desa Cilolohan adalah satu dari beberapa desa yang menjadi bukti bahwa Tasikmalaya sedang berbenah untuk memperbaiki hubungan antar kelompok. Saya mengenal masyarakat desa Cilolohan melalui kegiatan yang diadakan oleh PW Fatayat NU Jawa Barat yaitu Workshop Keberagaman Dan Toleransi Dalam Perspektif Gender. Saya sebagai anggota PC Fatayat NU Kabupaten Tasikmalaya berkesempatan menjadi bagian dari kepanitiaan kegiatan ini. Di desa ini terdapat sebuah kisah kerukunan yang patut dijadikan contoh.
Masyarakat di desa ini mayoritas beragama Islam, namun memiliki pemahaman dan afiliasi yang berbeda-beda. Mereka tergabung dalam berbagai organisasi massa (ormas) seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), dan Wahidiyah. Meskipun demikian, keberagaman pemahaman ini tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk hidup berdampingan secara harmonis.
Kehidupan Sehari-hari dalam Keberagaman
Masyarakat Cilolohan menjalani kehidupan dengan saling menghormati dan mendukung satu sama lain. Hal ini terlihat jelas dalam kebiasaan mereka untuk saling mengunjungi pengajian yang diadakan oleh masing-masing ormas. Tidak hanya itu, mereka juga sering terlibat dalam kegiatan sosial bersama, seperti gotong royong, peringatan hari besar Islam, dan acara-acara desa lainnya.
Kunci dari kerukunan ini adalah kesadaran mereka akan pentingnya persatuan. Meskipun berbeda pemahaman, mereka menyadari bahwa pada dasarnya mereka adalah saudara dari satu keturunan yang sama, yaitu Kerajaan Sukapura. Riwayat kerajaan ini menjadi tali pengikat yang kuat, menciptakan rasa kebersamaan, dan persatuan di antara mereka selama bertahun-tahun.
Begitulah cerita menentramkan yang baru pertama kali saya dengar dari kelompok minoritas agama. Kelompok yang biasanya terpinggirkan, namun di Cilolohan, Kabupaten Tasikmalaya, mereka menemukan kehidupan yang berbeda. Sepanjang kegiatan, mereka tampak berdialog dalam harmoni. Saling sahut menyahut dengan antusias saat menceritakan bagaimana indahnya pengalaman mereka yang selalu berdampingan dan bekerjasama dalam menopang kehidupan bersama.
Di Balik Kuatnya Persatuan, Tantangan Selalu Ada Untuk Menguji
Kadang kala, tak semua berjalan mulus tanpa tantangan. Tantangan memang tidak berasal dari dalam masyarakat mereka, melainkan muncul dari pihak luar. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Cilolohan adalah adanya fatwa sesat yang dikeluarkan oleh pemerintah terhadap kelompok Wahidiyah. Fatwa ini, menimbulkan keresahan dan potensi perpecahan di masyarakat. Namun, berkat kearifan lokal dan pendekatan dialogis yang diterapkan oleh tokoh-tokoh masyarakat, permasalahan ini dapat dikelola dengan baik sehingga tidak menimbulkan konflik yang lebih besar.
Tokoh masyarakat dan pemimpin ormas di Cilolohan selalu berusaha menjembatani perbedaan dan mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh semua pihak. Mereka mengutamakan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul. Dengan pendekatan ini, ketegangan dapat diredam dan kerukunan tetap terjaga.
Dialog adalah kunci. Dialog kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak bisa diibaratkan dengan peribahasa “memantik api dalam sekam”. Saling berbagi cerita, ide, dan pandangan terkait perbedaan tidak berarti kita memantik konflik. Sebaliknya, membuat kita saling mengenal, memahami, dan mempertimbangkan posisi satu sama lain guna memastikan setiap orang bisa hidup aman dan nyaman.
Harmoni yang Patut Dicontoh
Kerukunan masyarakat Cilolohan merupakan contoh nyata bahwa keragaman pemahaman dalam satu agama tidak harus berujung pada konflik. Dengan kesadaran akan pentingnya persatuan dan pendekatan yang inklusif, perbedaan justru dapat menjadi kekayaan yang memperkaya kehidupan sosial.
Kisah ini mengajarkan bahwa toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan adalah kunci utama dalam membangun masyarakat yang harmonis. Masyarakat Cilolohan telah membuktikan bahwa dengan semangat persaudaraan dan kearifan lokal, perbedaan pemahaman dapat diatasi dan kehidupan yang damai dapat terwujud. Kerukunan masyarakat Cilolohan, Kabupaten Tasikmalaya, menjadi inspirasi bagi kita semua dalam menjaga persatuan di tengah keberagaman. Semoga kisah ini dapat memotivasi masyarakat di daerah lain untuk selalu mengutamakan dialog dan toleransi dalam menghadapi perbedaan, sehingga tercipta kehidupan yang damai dan harmonis.
“Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI”